Menakar Siasat menunda Pemilu
Rencana sekelompok elite politik arus utama untuk menunda pemilihan umum atau memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode tampaknya akan terus bergulir. Rencana ini tentu saja tidak memiliki urgensinya, standing pointnya yang terlalu dipaksakan, serta lemahnya kepentingan Rakyat didalamnya. Selain, upaya ini hanya akan semakin menguatkan kepentingan rezim.
Padahal, Indonesia memiliki tidak sedikit talenta dan figur handal yang siap menggantikan pemimpin demi pemimpin yang purna tugasnya untuk negeri. Kita percaya jika regenerasi kepemimpinan nasional mesti dilahirkan secara terus dari dalam kawah candradimuka demokrasi untuk membuktikan kualitas generasi suatu bangsa dalam memikul tanggunjawab mengelola Republik beserta isinya sesuai kehendak zaman. Pergantian dan rotasi kepemimpinan nasional menemukan urgensinya karena kita memerlukan pemimpin yang berkapasitas masa depan. Pemimpin hari ini belum tentu relevan dengan kompleksitas masa depan Indonesia. Siasat yang meletakkan penilaian seolah-olah kepemimpinan nasional akan lebih nyaman dan lebih baik dibiarkan hingga tiga periode walaupun hak periode kekuasaan yang telah ada dibatasi oleh konstitusi dan dapat diubah tentu bertentangan dengan semangat zaman yang membutuhkan pemimpinnya sendiri. Upaya memaksakan memperpanjang masa jabatan presiden tidak memiliki urgensi karena pemimpin akan dipanggil dan dikehendaki sesuai waktunya masing-masing. Membatasi masa kekuasaan seseorang didalam konstitusi tentu telah menempatkan landasan logika yang peka terhadap preseden. Dalam bentangan sejarah, mereka yang terus berusaha sekuat tenaga menggenggam bara kekuasaan akan berakhir terpanggang.
Kita juga harus percaya bahwa tidak ada pemimpin yang dinilai lebih baik setelah datang pemimpin lain yang menggantikannya. Semua pemimpin mewarisi semua pekerjaan yang sudah selesai, dan semua pekerjaan yang belum selesai pula. Pergantian sekaligus mengkonfirmasi kelemahan dan kelebihan kepemimpinan seseorang. Kekuasaan sudah seharusnya dibatasi untuk memperlihatkan kekurangannya. Pergantian kepemimpinan akan menciptakan situasi yang berbeda dengan kepemimpinan yang sekarang merupakan klaim yang tidak sepenuhnya benar. Sekelompok orang seolah-olah berpendapat situasi sekarang sudah lebih baik dan mereka kuatir situasi setelahnya tidak lebih baik. Menjadi lebih baik merupakan proposal dan garansi yang pertama kali disodorkan oleh semua figur melalui suksesi kepemimpinan. Kita tentu saja boleh ragu-ragu, namun tidak lantas mempertahankan status quo ketika sudah ada mekanisme pembatasan periode kekuasaan, dan mencari celah untuk mensiasati perubahan untuk meloloskannya. Standing point kita malahan bukan memperpanjang umur kekuasaan atas keberhasilan kepemimpinan pada periode tertentu melainkan menjadikan pencapaian ini sebagai tauladan atau role model untuk dicontoh kepemimpinan generasi berikutnya. Dengan legacy yang gemilang, maka para suksesor sudah dibebani dengan standar pencapaian. Mereka seharusnya bekerja melampaui keberhasilan dari kepemimpinan sebelumnya. Sehingga menunda pemilihan umum atau memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode terlihat terlalu dipaksakan.
Terlepas dari banyaknya perdebatan, rezim kekuasaan biasanya menghasilkan oligarkinya sendiri. Kita duga wacana menunda pemilihan umum atau memperpanjang masa jabatan hingga tiga periode terkait erat dengan ketidaksiapan oligarki baru yang sedang tumbuh untuk berpisah badan dengan kekuasaan yang sekarang. Mereka sepertinya masih memerlukan sedikit waktu untuk membiasakan diri lepas dari privilege mendapatkan akses dengan bermodalkan dekat dengan kekuasaan. Maka dari itu, masih diperlukan perpanjangan waktu yang dirasakan mungkin cukup bagi oligarki baru ini untuk mandiri dan siap menerima ancaman dari kelompok oligarki manapun ketika kekuasaan tidak lagi melindunginya. Mengulur waktu barangkali cara efektif untuk memastikan mereka dapat tumbuh lebih besar dan kuat bersaing diluar lingkaran dalam kekuasaan. Kelompok oligarki baru ini mungkin yang paling berkepentingan menyuarakan perpanjangan masa jabatan karena mereka perlu membeli waktu untuk mempunyai kesempatan mendapatkan ceruk migrasi dalam ekosistem kekuasaan yang baru. Mereka harus pindah dengan selamat. Kita prediksi jika konsolidasi sumberdaya kelompok oligarki baru belum benar-benar tuntas. Namun, waktu untuk segera mempekuat semua yang sudah mereka miliki sudah sangat suntuk. Keharusan mengejar deadline dengan pekerjaan rumah didalam tubuh oligarki yang belum sepenuhnya selesai mengharuskan mereka memprovokasi wacana menunda pemilu supaya punya sedikit waktu lagi untuk menata semuanya sebelum suksesi pergantian kepemimpinan yang baru. Landskap politik pemenangan masih sangat prematur untuk bisa dikendalikan oleh mereka, maka langkah menyelamatkan bangunan oligarki yang sudah terbentuk dengan segera menjadi prioritas, dan penundaan waktu pemilu menjadi pintu masuk krusial untuk memperpanjang upaya penataan. Kita tentu tidak bisa menerima jika penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan atas dasar dorongan dari kelompok oligarki yang bergantung kepada rezim. Jika semua ini tidak benar, maka seharusnya penundaan pemilu tidak lagi relevan kecuali ada kepentingan Rakyat yang lebih besar untuk diselamatkan.
(*Ireng Maulana)