Stunting Dunia Nasional dan Kalbar 2021

Malnutrisi Sebuah Cermin Bagi Politik & Kebijakan

Stunting Dunia Nasional dan Kalbar 2021
Situasi Stunting dunia gabungan data Dunia, Nasional dan Kab.Kota di Kalbar 2013-2020

Sebagaian besar ilmuan termasuk lembaga Kesehatan dan Dunia sepakat bahwa yang menjadi akar dari berbagai masalah Malnutrisi dan Kesehatan sebuah negeri atau daerah adalah sistem Politik dan Kebijakan. Sistem Politik dan Kebijakan itu sendiri memiliki jenjang dan rentetan Panjang, yang juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah aktor politik, aktor kebijakan, termasuk penentu atau pemilih aktor itu sendiri.

Jika kita mau sedikit menggerakan jari, membuka mata untuk melihat data seperti apa gambaran masalah Kesehatan terkini, setidaknya bisa membuat kita berfikir, kenapa kondisi kita bisa seperti ini. Apalagi kini ada banyak sumber untuk melihatnya dengan mudah dan menarik, selain situs resmi lembaga kesehatan dunia atau negara, salah satunya bisa dilihat di laman, worldlifeexpectancy.com.

Menurut peta itu jelas bahwa Indonesia satu satunya negara di Asia yang punya rata-rata angka kematian berkategori tertinggi (merah) karena malnutrisi. Bahkan negara Afganistan, Myanmar yang sudah lama dilanda perang dan konflik sosial, digambarkan memiliki masalah malnutrisi jauh lebih rendah dibawah Indonesia. Sadarkah kita jika malnutrisi kita kategorikan sekelas dengan negara dibenua Afrika seperti Uganda, Ethiopia, Kenya, Nigeria, Tanzania, Nepal dan Somalia.

Peta itu menggambarkan bahwa daerah atau negara yang memiliki dinamika politik dan kebijakan dengan indikator ekonomi yang baik tidak menjamin aman dan bebas dari malnutrisi. Tetapi berbagai kebijakan negara dan sistem politik dengan indikator ekonomi yang rendah punya potensi besar berbagai masalah Kesehatan termasuk malnutrisi. Faktanya akibat pandemi tahun 2021 Bank Dunia menurunkan status ekonomi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi menengah kebawah meski kita sempat naik menengah keatas ditahun 2020.

Artinya meski Indonesia merupakan daerah yang ekonominya sempat menengah keatas di 2020 lalu tapi malnutrisinya tidak sebaik negeri sekelasnya. Justru malnutrisinya setara dengan negara-negara yang ekonominya di kelas bawah bahkan beberapa negara yang sedang dilanda konflik sosial dan perang.

Jika kita mau bedah study kasus dibeberapa daerah Kabupaten di tapal batas negeri seperti Kalimantan Barat, seolah kita malu untuk mengakuinya, bahwa kondisi yang sebenarnya jauh lebih parah dari rata-rata Nasional dan Provinsi. Bahkan kondisi kita saat ini, bisa diasumsikan, 1 dari 3 balita atau bahkan mendekati 1 dari 2 balita didaerah sekitar kita mengalami stunting seperti 3-9 tahun yang lalu. Faktanya semua Kabupaten/Kota di Kalbar masih diatas ambang 20%. Mungkinkah 5 tahun kedepan kita bisa memenuhi target dibawah 20%, setidaknya harapan kita bisa mengurangi secara konsisten.

Para ilmuan kesehatan menyimpulkan bahwa masalah stunting bukan sekedar masalah fisik yang pendek tetapi lebih jauh dari itu, yaitu perkembangan otak, kognitif daya pikir, resiko imunitas yang rendah sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi maupun non infeksi atau kronis menjadi ancaman masa depan, terlebih bagi negara yang mendambakan adanya bonus demografi.

Lalu bagaimana sistem politik dan kebijakan di daerah menghadapi masalah ini. Apakah kebijakan dan politik lokal daerah kita sudah lebih baik dari Nasional, Provinsi atau Kab. lain dengan situasi ekonomi yang setara. Itu jadi pertanyaan menarik yang tidak bisa diabaikan. Karena perkembangan malnutrisi dan beberapa masalah kesehatan 5 tahun terakhir justru semakin meningkat.

Artinya situasi politik dan kebijakan saat ini justru menurunkan prestasi dan memperbesar ancaman Kesehatan masa depan. Apalagi situasi pandemi sekaligus resiko lingkungan yang kurang sehat, bencana alam khas daerah yang tinggi, menjadi tantangan para aktor kebijakan dan politik didaerah untuk meramu sistem yang lebih baik.

Sebuah survey online Samsudrajat.S di Januari 2022 dari 203 responden pasca bencana banjir yang melumpuhkan sebagian besar Kab.Sintang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara korban terdampak banjir dengan mendapat pelayanan gizi darurat. Hasil mengungkap bahwa ada anggapan masyarakat kekurangan gizi selama bencana banjir 18,7%, melakukan pemantauan masalah gizi pada kelompok rentan paska bencana banjir 45,8%, ada permasalah gizi dikeluarga pasca banjir 21, 7%, dan 29,1% korban banjir mengalami Diare.

Maka beberapa solusi ahli atau pakar kebijakan dan politik mengatakan mulailah dengan memperbaiki sistem politik dan kebijakan lokal dari kualitas sisi aktor dan penentunya dari level terkecil. Meski tidak mudah, orientasinya jangka panjang dan akan berdampak sistematis disemua sektor kehidupan termasuk Kesehatan.

Kasus politik dagang sulitnya membeli minyak goreng, melepaskan harga sepenuhnya kepasar, diantara para mafia pangan, mafia alam, selain mafia kesehatan dan mafia hukum adalah contoh salah satu dinamika kebijakan dan politik yang bisa berdampak langsung maupun tidak langsung kepada malnutrisi baik jangka pendek atau panjang.

Seolah terlihat meningkatnya status ekonomi, status pendidikan Indonesia, tidak bisa sejalan dengan status gizi dan Kesehatan sebagaimana negara lain pada umumnya. Jangan sampai pilihan sistem kebijakan dan politiknya menjadi “senjata makan tuan” bagi anak cucu kita kelak atau mengambil jalan pintas dengan menyulap data, tidak melaporkan data masalah Kesehatan itu sendiri atau membiarkan bom waktu demi citra politik dan kebijakan. Semoga kita tidak malu mengakui status kita apa adanya, sebagaiman ungkapan pakar kebijakan Nasional Riant Nugroho bahwa kebijakan dan politik harus berdasarkan data (bukan manipulatif), menakar manfaat dan resiko, menjaga kepercayaan publik, melibatkan dan menghargai pihak terkait, agar langkah dan upaya yang diramu dalam bentuk kebijakan bisa berjalan sinergis dan harmonis.

(*Agus Samsudrajat.S Pengajar di Universitas Muhammadiyah Sintang)