KUHP SAH! Bagaimana dampak terhadap Demokrasi?

Selasa lalu melalui rapat paripurna DPR akhirnya mengesahkan RKUHP yang menjadi KUHP. Cita cita untuk memiliki KUHP organik hasil kontemplasi dari pemimpin bangsa justru masih mengisahkan problematika didalamnya. RKUHP yang melalui jalan terjal dalam proses penyusunannya nyatanya masih belum berpihak terhadap rakyat. KUHP yang digunakan sebelumnya merupakan warisan zaman kolonial belanda. KUHP yang sejatinya harus lebih baik dari sebelumnya malah memperparah keadaan realita ketika disahkannya RKUHP.

Argumen yang dilayangkan DPR semakin melemahkan fungsinya ketika KUHP disahkan masyarakat yang tidak setujununtuk melakukan Judicial Review. Artinya hal darurat dalam pasal pasal yang masih bermasalah enggan untuk dibahas dalam rapat DPR. Apakah ketika JR sudah menjamin independensi MK?.

Dalam sektor kebebasan sipil tentunya ada pasal pasal yang kontroversial. Sederet pasal tersebut makin memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia. Kemunduran demokrasi ini akan membawa kembali kita para zaman orde baru.

Beberapa pasal yang merampas kebebasan sipil, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, antara lain: pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah, pasal tentang penyiaran berita bohong, pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pasal tentang pencemaran nama baik, serta pasal tentang pencemaran orang mati.

Bayangkan apabila pasal ini efektif dan masif digunakan tentunya penjara akan penuh ini semakin mencoreng wajah hukum di Indonesia. Prinsip-prinsip negara kekuasaan (machstaat) itu akan semakin terlihat. Jadi, ke depan hukum kita semakin terpinggirkan oleh ekonomi, pembangunan, dan itu tidak berbasis pada kedaulatan rakyat yang dikandung dalam nilai-nilai demokrasi. Tapi, justru pembangunan yang menguntungkan sekelompok orang-orang yang sudah menguasai kekayaan material secara maksimal.

Meninjau pasal-pasal KUHP bermasalah dalam asas-asas Demokrasi

istilah “Demokrasi” muncul pada mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara-kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Cleisthenes disebut sebagai “bapak demokrasi Athena.

Demokrasi Athena berbentuk demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing, non-pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun.

Di Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik. Pada tahun 19591966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang dalam praktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahun 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat. Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain semakin bebas.

Pasal-pasal yang merampas kebebasan sipil, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, antara lain: pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah, pasal tentang penyiaran berita bohong, pasal tentang penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pasal tentang pencemaran nama baik, serta pasal tentang pencemaran orang mati.

Salah satu asas pokok dalam demokrasi yaitu Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama. Melihat secara kritis asas dalam demokrasi dengan pasal-pasal yang merenggut kebebasan sipil ini makin meperparah realita.

Justru dengan adanya KUHP tersebut pemerintah malah semakin melindungi dirinya sendiri atas jabatan yang di emban makin mengisyaratkan menjadi Maha-Pemerintahan. Semakin menghilangkan ciri-ciri demokrasi seperti salah satu adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Tentunya kita mengingat trauma kekuasaan pada zaman orba yang akankah akan terulang kembali.

Periode Pasca Orde Baru / Reformasi (1998 – sekarang) Periode pasca Orde Baru ini disebut Era Reformasi. Dalam periode ini tuntutan-tuntutan rakyat mengenai pelaksanaan demokrasi dan HAM harus lebih konsekuen. Tuntutan ini berawal dari lengsernya Presiden Soeharto yang telah menjabat selama tiga puluh tahun lamanya dengan Demokrasi Pancasilanya. Dalam periode ini cita-cita dari demokrasi yang mapan dan menjunjung tinggi HAM menjadi tantangan utama, sehingga dalam periode ini banyak terjadinya perombakan baik secara aturan, fungsi dan institusi. Wacana demokrasi pada pasca Orde Baru atau Era Reformasi erat kaitanya dengan pemberdayaan masyarakat madani (civil society) dan penegakan HAM secara sungguh-sungguh serta mengembalikan kedaulatan sesungguhnya kepada rakyat.

Perjalanan penyusunan RKUHP

Dalam sidang paripurna dijelaskan, RKUHP merupakan RUU inisiatif pemerintah. Pada Juni 2015 lalu, presiden mengirimkan surat kepada DPR, yang kemudian ditindaklanjuti dengan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

Bamus kemudian menugaskan Komisi III DPR RI untuk melakukan pembahasan dengan pemerintah dan membentuk panitia kerja (panja). Panja kemudian melakukan serangkaian proses kegiatan dalam rangka pembahasan dan pendalaman melalui kunjungan kerja, seminar, dan diskusi. Panja juga melakukan pendalaman intensif sejak 29 Oktober 1015 sampai 15 September 2019.

Pada 2019, RKUHP hampir disahkan, tapi aksi unjuk rasa di berbagai daerah berhasil membatalkannya. Pada saat itu, substansi RKUHP masih dianggap bermasalah. Pada saat itu, Presiden Joko Widodo meminta pasal-pasal bermasalah ditinjau kembali.

Setelah itu, RKUHP masuk Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2022. Namun, sebenarnya, gagasan untuk mengubah KUHP sebenarnya sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, tepatnya sejak 1958, bersamaan dengan pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN).

Pada 1970 pemerintah sempat mulai merancang RKUHP untuk mengganti KUHP dan pada 1993 drafnya selesai disusun. Namun, pembahasannya baru dilanjutkan pada 1998. Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, wacana revisi KUHP pertama kali disampaikan.

 

Penulis : Mas Ageng