Semakin kita dewasa, bukan berarti semua hal menjadi mudah. Ada satu masa di mana perihal kecil yang kerap kita temui, yang kita anggap puncak dari segala kedamaian justru semakin ke sini semakin kehilangan makna, toleransi.
Dulu, sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah mungkin kita akrab dengan kata itu. Bukan hanya masuk dalam kurikulum pelajaran bahkan, dalam lingkungan sosial kata itu harus diaplikasikan setiap orang, tak terkecuali.
“Tolong dihargai teman-teman yang puasa,” satu kalimat yang bisa mewakili pengaplikasian toleransi. Terdengar cukup damai. Menghargai teman-teman yang berpuasa dengan mengurangi segala kebiasaan yang biasa dilakukan bersama dan senyata-nyatanya.
Tapi, namanya juga meminta tolong barang tentu yang dimintai tolong punya hak untuk menolak. Dengan segala alasan. Dalam posisi ini, dua penjuru toleransi semestinya berlaku. Tidak sepihak atau berpihak. Tidak ada yang memaksa dan juga terpaksa. Saling menghargai apa yang menjadi hak dan kewajiban dalam rangka melaksanakan kata itu.
Namun, semakin ke sini rasanya kata itu justru cendrung membuat kita fanatik. Kita berasumsi toleransi hanya bisa berlaku jika salah satu pihak mendapatkan apa yang ia mau. Sekalipun di pihak yang lain merasa ada yang dirugikan dalam dirinya. Padahal, toleransi bagi saya tidak begitu semestinya. Kita memberi tanpa paksaan dan pada saat bersamaan juga mendapatkan hak yang sama.
Sebagai orang yang lahir dari lingkungan mayoritas beragama islam di desa, fenomena bangunkan sahur di bulan puasa seperti ini bukan hanya datang dari mikrofon masjid. Namun, juga lahir dari arakan anak-anak yang memadukan ketukan panci dan ember rusak dengan teriakannya. Tentu dengan koridor yang dibatasi. Anak-anak akan mengecilkan volume suara dan ketukan di hari selanjutnya jika di hari sebelumnya sudah dapat teguran dari ketua masjid atau imam masjid.
“Suara kalian bangunkan sahur terlalu nyaring, yang santai-santai saja,” kata imam masjid menegur anak-anak desa jika ada tetangga yang merasa kurang nyaman. Pluralisme.
Mungkin bangunkan sahur seperti itu lahir dari pedesaan atau kampung. Namun perkembangan jaman membuatnya dikenali banyak orang. Di wajah perkotaan kemudian berbondong-bondong melakukan hal yang sama. Tapi sayang, mungkin ucapan imam masjid tadi tidak terdengar di telinga orang kota. Nasihat yang disederhanakan oleh imam masjid tentang sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik.
Di kota, kata “sesuatu yang berlebihan” itu termodernisasi, berubah pengucapan kata. Tidak ada lagi sikap toleransi yang ada justru menjadi hal yang membanggakan. Bahkan bisa menjadi lelucon dan pundi-pundi pendapatan. Betapa banyak kita lihat video-video yang sengaja dibuat dengan caption “aksi barbar” bentuk lain dari berlebihan. Kita tertawa terbahak-bahak menyaksikan tontonan itu. Jika ada yang merasa keberatan, maka konsep baper terbangun dan menganggap oranglain tak memiliki toleransi. Tanpa sadar, justru kita membayar mahal tontonan kita tentang tak bertoleransi. Tapi memang di kota rasanya tak ada yang menegur kita seperti sarat nasihat sederhana imam masjid desa tadi.
Penulis : Maman Suryansyah (Aktivis)