Agaknya belum terlambat bila tulisan remeh ini di-publish dan dibaca, meski Pileg dan Pilpres sudah tinggal menunggu pengumuman resmi. Namun, di depan mata masih akan ada konstestasi Pilkada yang siap menyambut kita dalam waktu dekat. Moga-moga tulisan ini masih relevan dan tidak mengurangi subtansi hanya karena masyarakat awam tentang politik yang menuliskannya. 

Tulisan ini sebetulnya hanya lahir dari pemikiran awam tentang bagaimana narasi-narasi politik kita dibangun. Saya sedikit merasa terganggu, mungkin tepatnya semacam perasaan kurang nyaman dengan berbagai tulisan kampanye yang dari masa ke masa belum banyak mengalami perubahan. Yakni, mempolitisir kewajiban menjadi kelebihan. 

Saya beri sedikit contoh kecil narasi yang sering dipakai oleh kandidat; merakyat, tegas, amanah, tidak memandang perbedaan, mensejahterakan rakyat, bertanggung jawab, gigih, dan masih banyak lagi. Anda bisa membayangkan bila kata-kata itu dijadikan satu kalimat yang utuh. Maaf, bukannya menarik perhatian, justru menimbulkan penilaian citra diri yang berlebih. Celakanya, tak jarang saya menemukan narasi itu ditulis berulang-ulang dengan hanya mengubah sedikit kalimat dan dibagikan berulang-ulang lagi ke berbagai fasilitas media sosial. 

Maksud sederhana saya begini, apakah mereka tidak bisa mencari cara lain selain mempolitisir kata-kata itu semua. Siapapun tahu, apabila dinyatakan menang dalam konstestasi, dan terpilihlah ia sebagai pemimpin, sejak mengucapkan sumpah jabatan, dilantik, diberi berbagai fasilitas mewah, dikawal dengan banyak ajudan serta penjagaan, maka sejak itu pulalah mereka harus menjalankan seluruh kewajiban itu semua. Menjalankan setiap kewajiban dan amanah yang sudah dimandatkan oleh rakyat. 

Mungkin kita masih ingat betul sepenggal lirik lagu Koes Plus ini “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupmu. Tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiru dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman,”. 

Tapi sudah berapakali kita termakan narasi itu sampai bahkan pada akhirnya sepetak tanah pun tidak ada lagi ruang untuk menancapkan tongkat itu. Tanah kita sendiri seperti tanah sewaan dari seorang pemilik yang dzalim. Otoriter dalam bentuk yang baru. Keputusasaan kita sendiri menjadi-jadi, meratapi keadaan yang tak kunjung berubah. 

“Siapapun pemimpin, hidup kita tetap saja begini-begini saja. Mending kau bantu orangtua kerja,” kata seorang ibu kepada anaknya di kampung halaman saya suatu kali. 

Saya masih ingat betul-dulu-bersekolah, mendapatkan pendidikan tinggi bukanlah hal prioritas. Di kampung halaman saya misalnya, sekitar satu jam perjalanan dari rumah terdapat satu gunung atau mungkin lebih cocok disebut bukit, habis dibabat, diekploitasi. Setiap sudut kaki bukit itu dilubang dengan mesin dan digali untuk mendapatkan jalur emasnya. Bertahun-tahun. Suatu kali, pernah terjadi tidak ada satu murid Sekolah Dasar di wilayah itu yang masuk sekolah. Para murid lebih memilih mencari emas dibanding harus duduk berlama-lama menyimak ocehan guru di sekolah.

“Kau sekolah mau jadi apa? Lurah udah ada, camat udah ada, bupati udah ada, dewan udah ada. Mending kau bantu orangtuamu cari duit,” kata bibi saya yang kebetulan pensiunan guru sekolah itu, menirukan kalimat yang sempat ia dengar dari mulut seorang ibu murid kepada anaknya.

Tak perlu didebatkan semestinya. Apalagi itu cerita lama dan semoga sekarang sudah berubah. Tapi, mau tidak mau saya juga harus mengakui bahwa doktrin-doktrin semacam ini dulu pernah juga lahir dari lingkungan saya. Mau bagaimana lagi, begitulah kondisinya. 

Tapi pada akhirnya, kita juga harus mengakui bahwa mental itu terbentuk bukan begitu saja. Tapi ada kondisi yang mendorongnya hingga terbentuk. Mungkin saya pikir satu di antaranya adalah masyarakat kita sudah terlalu lama berdamai dengan narasi-narasi yang dipolitisir itu. 

“Ayo ke TPS. Gunakan hak suaramu,” slogan-slogan itu terpampang luas sepanjang jalan, lengkap dengan nomor urut. 

Saat kali pertama saya membaca slogan ini, memang rasanya tidak ada yang aneh. Tapi lama kelamaan, ada semacam sugesti yang mendorong saya harus datang ke bilik rahasia itu. Apalagi ada kalimat “hak” dalam slogan tersebut. 

Bagi masyarakat awam seperti saya, kata “hak” itu selalu ditafsirkan sebagai sebuah penerimaan dari yang seharusnya saya dapatkan. Berbeda dengan kewajiban yang meskipun diwajibkan, pasti selalu ada dorongan untuk tidak mengerjakannya. Tapi “hak” di sini sudah terlanjur terpolarisasi antara maksud penyampai pesan dengan si penerima pesan. Ditambah lagi dengan narasi-narasi yang dipolitisir seperti tertulis di atas. 

Betul, narasi semacam itu bukanlah satu-satu faktor penentu terpilih atau tidaknya seseorang. Jejak rekam, status sosial, ekonomi juga sangat berpengaruh besar. Tapi, menempatkan sesuatu yang salah juga tidak baik dalam proses pendidikan demokrasi kita. Sekali lagi, tapi mau bagaimana lagi, mungkin para kandidat itu tidak cukup banyak waktu untuk memikirkan narasi yang relevan. Atau justru, kita sendiri yang sudah terlalu lama terbelenggu dengan narasi-narasi itu. Entahlah.

Penulis : Maman Suryansyah (Aktivis)