“Orang yang kau pilih waktu pemilu/pilkada adalah dia yang dengan sirine polisi akan menyuruhmu minggir di jalan raya.”
-Pidi Baiq-
Hujan di bulan desember kali ini nampaknya sebuah elegi, markah semesta kepada kita, bahwa babak baru kesewenang-wenangan akan segera bergulir kembali di republik ini. Dengan berakhirnya pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, menjadi tanda sekaligus penanda, bahwa tidak lama lagi pluit akan segera kembali dibunyikan. Meski penguasa baru dan penguasa lama masih menikmati euphoria kemenangan.
Benar bahwa pilkada yang terselenggara hari ini adalah satu etape penting dalam perjuangan keluar dari zona kegelapan rezim orde baru. Sebagai hadiah dari perjuangan reformasi yang menumpahkan darah para pejuang reformasi. Orang-orang bergembira menyambut kelahiran satu sistem baru yang akrab disapa demokrasi. Dimana rakyat telah berhak menentukan pilihannya sendiri, menentukan nasibnya sendiri. Harapan kepada demokrasi teramat besar, masa depan negara ini digantungkan padanya. Tapi apakah benar demikian?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali melihat apa esensi dari demokrasi. Apakah demokrasi hanya sekadar pilih memilih didalam bilik suara saja, atau lebih dari itu? Jelas bahwa demokrasi bukan hanya perkara coblos-mencoblos saja. Demokrasi tidaklah sebercanda itu, ada kedaulatan rakyat di dalamnya. Kesuksesan demokrasi tidak terbatas hanya pada level prosedural saja. Rakyat harus benar-benar menjadi pemegang kedaulatan tertinggi.
Demokrasi berarti kedaulatan rakyat atau kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat berarti rakyat mempunyai hak dan kekuasaan untuk menetapkan paham dan roda pemerintahan suatu negara. Rakyat berdaulat dan mempunyai kekuasaan untuk memutuskan bagaimana masyarakat menjalani kehidupan pemerintahan. Begitu penegasan Bung Hatta.
Namun pada kenyataanya, jauh panggang dari apinya. Suara rakyat hanya dihitung setiap pemilihan saja, selepas itu suara mereka tak berarti apa-apa. Benar bahwa kita telah bebas memilih siapa yang kita kehendaki menjadi pemimpin, sayangnya berhenti sampai disitu saja, selebihnya kita dipaksa untuk memilih pilihan-pilihan orang-orang yang telah kita pilih dalam pilkada maupun pemilu. Sepakat atau tidak, baik atau buruk.
Pilkada yang mengatasnamakan demokrasi juga rakyat, tidak lain hanyalah arena untuk berebut kuasa para politisi yang disokong oleh pemilik modal. Tidak lebih dari itu. Demokrasi hanyalah juba, sementara rakyat dijadikan kambing hitam untuk mendapatkan tahta. Tidak ada yang berubah dan istimewa dalam setiap perhelatan pilkada. Para politisi hanya menjual harapan melalui visi-misi, yang kita tahu bahwa itu hanyalah angin-angin surgawi yang utopia.
Jargon familiar yang acap kali menjadi teriakan pemenang kontestasi pilkada bahwa “Kemenangan ini adalah kemenangan rakyat” murni hanya omon-omon. Tidak ada kemenangan rakyat dalam setiap perhelatan pilkada, kemenangan politisi, pemilik modal dan oligarki. Ia.
Kini, 19 tahun telah berlalu, sejak 2005. Berapa kali pilkada telah terlaksana. Juga, para pemimpin telah datang silih berganti. Demokrasi yang kita banggakan sebagai sistem yang dianggap paling ideal tampaknya begitu-begitu saja, partisipasi rakyat hanya berhenti di dalam bilik suara. Selebihnya, yang memegang kendali adalah mereka para politisi dan sekutunya, kemudian menjelma menjadi diktator mayoritas dan tirani minoritas, (meminjam bahasa Yudi Latif dalam buku “Wawasan Pancasila”). Barangkali ini yang dimaksud oleh Frank Karsten dan Karel Beckman bahwa demokrasi hanya sebatas pada pemilihan yang hasilnya dikorupsi oleh elit politik.
Menurut hemat saya, siapapun yang menjadi pemenang dalam setiap perhelatan pilkada, mereka hanyalah perpanjangan tangan oligarki, yang tujuannya jelas, akan melanjutkan proses eksploitasi terhadap rakyat, tidak ada yang lain. Sebab kekuasaan tetaplah kekuasaan, meski mengenakan pakaian dari surga sekalipun, rupanya tidak akan berubah. Ia tetap akan seperti opium, menguntungkan dan membuat ketagihan.
Bukan hanya itu, satu hal yang juga pasti terjadi dalam kekuasaan adalah “Power tends to corrupt, and absolute corrupt absolutely”. Tesis ini ditulis oleh Lord Acton 128 tahun yang lalu, namun masih sangat relevan hingga hari ini dalam melihat bagaimana wajah kekuasaan.
Lalu apa yang tersisa setelah pilkada selesai? Selain bagi-bagi kue kekuasaan, mereka yang menang akan sibuk memikirkan bagaimana cara mengembalikan kost politik yang ia habiskan dalam pertarungan pilkada. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, yang berkuasa akan mencari, bahkan menghalalkan segala cara untuk bisa mempertahankan kekuasaan yang telah mereka dapatkan. Inilah esensi dari ujar-ujar lama, bahwa kekuasaan itu layaknya candu. Menguntungkan dan membuat ketagihan.
Lalu bagaimana dengan kontestan yang kalah, Apakah akan memilih jalan oposisi sebagai check and balances? Maaf saja, telah sejak lama para politisi di negeri ini melupakan makna oposisi. Mereka yang kalah akan sibuk mencari suaka untuk bergabung dengan mantan rival mereka. Sebab menjadi oposisi sama halnya siap kelaparan.
Bagaimana dengan nasib rakyat? Jangan bertanya, kosakata rakyat hanya menjadi bahan diskusi untuk meraih singgasana. Rakyat akan kembali menjadi sasaran empuk eksploitasi, hak-hak mereka akan Kembali dikebiri. Lahan-lahan mereka akan kembali dirampas atas nama Pembangunan, hutan-hutan tempat mereka menggantungkan hidup akan kembali menjadi sasaran empuk pembabatan atas nama keberlanjutan pembangunan. Suara-suara mereka akan kembali dibungkam oleh orang yang telah mereka pilih dalam pilkada. Moncong senjata dan laras Panjang akan Kembali menjadi momok yang menghantui mereka saat menyampaikan pendapat.
Bukan hanya itu, ada hal lain yang lebih memilukan dialami oleh Masyarakat menengah kebawah, setiap perhelatan pilkada usai, mereka kerap menjadi korban politik akibat kalangan elit yang berebut kuasa. Yaitu konflik horizontal yang tidak berkesudahan hanya karena beda pilihan saat pilkada. Tak jarang konflik seperti ini akan berlanjut sampai ke perhelatan pilkada mendatang. Dan siklus ini masih terus berlanjut sampai hari ini. Tidak main-main, di beberapa tempat, bahkan ada yang rela kehilangan nyawa demi membela pilihan mereka. Sementara orang yang mereka pilih, orang yang mereka bela saat pilkada, dengan sirine polisi akan menyuruhnya minggir saat melewati jalan raya yang sama. Benar kata Pidi Baiq.
Penulis: Achmad Faisal (Penulis Lepas)
Referensi:
https://kawula17.id/artikel/sejarah-pemilihan-kepala-daerah-pilkada-di-indonesia
https://www.setneg.go.id/baca/index/demokrasi_kerakyatan_dalam_perspektif_mohammad_hatta
https://umj.ac.id/kabar-kampus/seminar/2024/01/pakar-politik-sebut-demokrasi-di-indonesia-alami-pelemahan/
https://documents.uow.edu.au/~/bmartin/pubs/98il/il01.pdf
https://news.detik.com/kolom/d-7661395/mengembalikan-keniscayaan-demokrasi-dalam-pilkada
https://video.tribunnews.com/view/777738/live-kampanye-di-kota-bima-berujung-maut-satu-peserta-meninggal-dunia-setelah-terjadi-kericuhan