Bioekonomi merupakan salah satu “Seruan” pada tingkatan global, untuk menjawab berbagai tantangan seperti perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati di satu sisi, sementara di sisi lainnya populasi terus bertambah dan berkarakteristik sangat urban. Sehingga komunitas global sepakat bahwa diperlukan pendekatan dan cara-cara baru yang lebih efektif terutama dalam praktik produksi dan konsumsi agar sesuai dengan batasan-batasan daya dukung dan daya tampung planet Bumi saat ini. Sejumlah payung global yang mencakup berbagai inisiatif, kebijakan, dan perjanjian internasional untuk mendorong pemanfaatan sumber daya hayati secara berkelanjutan, seperti; Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 (Sustainable Development Goals/SDGs); Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD); dan Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KMGBF) misalnya, sudah memberikan kerangka dasar yang mendukung pengembangan bioekonomi berkelanjutan dan terintegrasi dengan menekankan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial (well-being).

Lebih jauh lagi, pada perhelatan G20 tahun 2024, Brasil sebagai tuan rumah G20 mengangkat diskusi tentang bioekonomi dengan membentuk The G20 Initiative on Bioeconomy (GIB), untuk mendorong pemahaman bersama terkait penerapan bioekonomi. Banyak negara yang telah memiliki perencanaan secara holistik untuk pengembangan bioekonomi seperti Afrika Selatan, Kolombia, Amerika Serikat, Norwegia, dan lainnya (Gardossi et al. 2023). Namun demikian, hingga saat ini belum ada definisi tunggal yang disepakati secara global, termasuk di Indonesia. Setiap negara cenderung mengadopsi definisi yang disesuaikan dengan sosial, ekonomi, dan lingkungan masing-masing. Praktik bioekonomi masih diterapkan dalam bentuk-bentuk yang terpisah oleh berbagai sektor seperti kehutanan, pertanian, dan perikanan tanpa ada prinsip terpadu yang jelas. Hal ini menimbulkan berbagai tantangan dalam pengelolaannya, seperti terbatasnya pemahaman kolektif, belum optimalnya pemanfaatan potensi sumber daya alam yang melimpah, dan lemahnya sinergi antara sektor-sektor terkait. Alhasil, sebanyak 21 negara yang terlibat dalam diskusi ini berhasil mencapai kesepakatan yang sama dengan merumuskan 10 prinsip tingkat tinggi G20 tentang bioekonomi, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025 – 2045, pemerintah Indonesia telah berkomitmen memposisikan bioekonomi sebagai salah satu agenda transformasi ekonomi. Bioekonomi diharapkan menghasilkan produk-produk inovatif berbasis sumber daya hayati dan jasa ekosistem. Oleh karena itu, perlu inisiatif dan kesepahaman untuk merumuskan konsep dan prinsip bioekonomi yang dapat diadopsi secara nasional dan dasar operasional dalam pengembangan bioekonomi. Sehingga, bioekonomi didefinisikan sebagai pendekatan ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya hayati yang diproses secara lestari untuk menciptakan hasil bernilai tambah lebih tinggi sehingga mewujudkan perekonomian Indonesia yang adil, makmur, dan berkelanjutan, serta menjunjung tinggi hakikat kemanusiaan. Definisi ini berlandaskan pada tiga kriteria utama yaitu nilai tambah, penerapan bioteknologi, dan well-being, dengan mempertimbangkan arah pembangunan Indonesia hingga 2045 dan nilai-nilai yang di usung oleh Indonesia. Pendekatan bioekonomi juga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada sektor Minerba melalui penyelerasan nilai tambah hulu-hilir yang berkelanjutan pada komoditas berbasis hayati.

Merujuk pada data dari berbagai Kementrian dan Lembaga terkait, terdapat 8 sektor yang ditetapkan sebagai prioritas untuk kebutuhan investasi hilirisasi hingga tahun 2040 secara nasional. Mineral dan batubara merupakan sektor pertama yang nilai investasinya diperkirakan mencapai angka USD 431,8 miliar, disusul minyak dan gas bumi dengan nilai investasi mencapai USD 68,1 miliar, serta sektor perkebunan, kelautan, perikanan dan kehutanan yang nilainya mencapai USD 45,4 miliar. Oleh karena itu, dalam kerangka besar transformasi ekonomi nasional, Pemerintah Daerah di level Provinsi dan Kabupaten perlu untuk menyikapi inisiatif ini melalui berbagai pendekatan strategis, inovatif dan relevan yang sejalan dengan payung kebijakan global dan nasional untuk mendukung pengembangan bioekonomi. Hal ini dapat dimulai dengan mengintegrasikan bioekonomi ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah, termasuk untuk mulai mempromosikan Eco-Entrepreneurship, guna mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis bioekonomi dengan pendekatan ramah lingkungan.