
Oleh: M. Hermayani Putera
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat yang sangat baik: memastikan anak-anak Indonesia, terutama dari keluarga berpenghasilan rendah, mendapat asupan gizi seimbang setiap hari. Dalam konteks meningkatnya angka stunting, kesenjangan gizi antarwilayah, dan tekanan ekonomi rumah tangga pasca-pandemi, inisiatif ini merupakan langkah visioner dan strategis.
Namun, seperti banyak program ambisius di negeri ini, niat baik tak selalu sejalan dengan mutu pelaksanaan. Kajian terbaru dari Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagaimana dirilis oleh UGM pada 6 Oktober 2025, mengungkap sejumlah persoalan mendasar dalam implementasi MBG di lapangan. Temuan tersebut patut disimak dengan kepala dingin dan hati terbuka — bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk memperbaiki.
Dari hasil analisis UGM, ada lima isu utama yang patut jadi perhatian serius.
Pertama, penerapan standar keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point atau HACCP) masih jauh dari konsisten. Proses produksi, penyimpanan, dan distribusi sering melewati batas waktu aman, bahkan mencapai lebih dari empat jam antara pengolahan dan konsumsi — tanpa pendinginan memadai. Dalam konteks tropis seperti Indonesia, hal ini sangat rawan memicu pertumbuhan bakteri dan risiko keracunan pangan.
Kedua, fasilitas dapur dan penyimpanan di banyak lokasi pelaksana MBG belum memenuhi standar minimal. Ada dapur yang belum memiliki sistem sanitasi baik, wadah distribusi yang tak higienis, hingga pengemasan ulang tanpa pemanasan ulang yang memadai.
Ketiga, kapasitas sumber daya manusia masih terbatas. Tidak semua petugas produksi dan distribusi memiliki pelatihan keamanan pangan atau sertifikat sanitasi. Ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan menyangkut tanggung jawab moral — karena menyangkut keselamatan anak-anak sekolah.
Keempat, lemahnya pengawasan lintas sektor. Baik dari sisi pemerintah daerah, dinas kesehatan, maupun pihak sekolah, mekanisme kontrol mutu belum berjalan efektif dan sistematis.
Dan kelima, durasi antara produksi hingga konsumsi yang tidak efisien dan tidak selalu terpantau, menyebabkan makanan yang seharusnya menyehatkan justru berisiko menjadi sumber bahaya.
Kita perlu menegaskan satu hal: temuan akademik seperti dari UGM bukanlah bentuk oposisi terhadap program pemerintah, melainkan panggilan nurani ilmiah. Dunia kampus berkewajiban mengingatkan pemerintah agar kebijakan besar tidak kehilangan pijakan rasional dan ilmiah.
Program MBG bisa menjadi terobosan luar biasa dalam membangun generasi emas 2045 — tapi hanya jika dijalankan dengan keseriusan tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas. Karena yang sedang kita tangani bukan sekadar angka gizi, tapi masa depan manusia Indonesia.
Agar MBG benar-benar bermakna, ada sejumlah langkah yang perlu segera dilakukan pemerintah pusat dan daerah:
- Standarisasi fasilitas dan proses produksi.
Pemerintah perlu menetapkan minimum service standard untuk dapur produksi MBG: ventilasi, sanitasi, alat masak, dan penyimpanan harus memenuhi syarat higienis. Tidak ada kompromi untuk keamanan pangan. - Pelatihan dan sertifikasi SDM.
Semua petugas pengolah, pengemas, dan pendistribusi makanan wajib mengikuti pelatihan keamanan pangan serta memperoleh sertifikat higienis-sanitasi. Ini bentuk tanggung jawab moral sekaligus profesionalisme. - Pengawasan independen dan audit rutin.
Bentuk tim lintas sektor (Dinas Kesehatan, Pendidikan, BPOM, dan perguruan tinggi) untuk melakukan audit acak dan berkala terhadap pelaksanaan MBG. Hasil audit perlu dipublikasikan agar publik dapat memantau. - Transparansi dan pelibatan masyarakat.
Publik, khususnya orang tua siswa, berhak mengetahui asal-usul, proses, dan hasil uji keamanan makanan. Mekanisme pengaduan dan pelaporan harus mudah diakses dan ditindaklanjuti. - Manajemen waktu dan distribusi.
Waktu antara produksi dan konsumsi harus dipangkas sependek mungkin. Bila distribusi jauh, maka perlu digunakan sistem cold chain sederhana atau metode pengawetan alami yang aman. - Pendekatan edukatif.
Program MBG jangan berhenti pada “pemberian makanan gratis”, tetapi juga menjadi ruang edukasi tentang gizi, sanitasi, dan kesehatan bagi siswa, guru, serta masyarakat sekitar.
Kebijakan publik tidak pernah sempurna pada awalnya. Tapi yang membedakan pemerintah yang belajar dengan yang lalai adalah kesediaan mendengar kritik.
Program MBG adalah kesempatan langka untuk membangun sistem pangan nasional yang adil dan menyehatkan sejak bangku sekolah. Namun jika pengawasan longgar dan standar keamanan diabaikan, niat baik itu bisa berubah menjadi bumerang.
Oleh karena itu, tanggung jawab kita bersama — pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan media — adalah memastikan program ini tidak sekadar berjalan, tetapi juga selamat, sehat, dan bermartabat.
Karena memberi makan anak bangsa bukan hanya soal mengenyangkan perut, tapi tentang menumbuhkan harapan yang tidak beracun oleh kelalaian.