
Oleh: M. Hermayani Putera
Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Tanggal ini merekam sejarah kelam 1965 yang hampir mengguncang fondasi republik. Dalam pusaran krisis itu, Pancasila tampil sebagai penyangga sekaligus perekat persatuan bangsa. Kesaktiannya terbukti, sebab ia mampu menyelamatkan negara dari potensi perpecahan dan disintegrasi.
Namun, enam dekade kemudian, pertanyaan kritis muncul: apakah Pancasila masih sakti dalam kehidupan berbangsa, atau kesaktiannya hanya tinggal kenangan historis?
Secara historis, Pancasila telah berkali-kali diuji. Ia hadir sebagai ideologi terbuka yang menampung keragaman suku, agama, dan budaya. Melalui sila-sila yang saling menopang, Pancasila menjadi fondasi yang kokoh menghadapi ancaman ideologi transnasional dan guncangan politik domestik.
Notonagoro menyebut Pancasila sebagai dasar filsafat negara yang menjiwai seluruh penyelenggaraan kehidupan nasional. Karena itu, tidak berlebihan jika peringatan 1 Oktober dimaknai sebagai momen peneguhan: bangsa Indonesia tetap berdiri karena Pancasila berhasil menjaga keutuhan republik.
Namun, dalam praktik kontemporer, Pancasila justru kerap tampak rapuh. Survei LIPI (2020) mencatat meningkatnya gejala intoleransi di ruang publik. Sementara ICW (2024) melaporkan kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp52,3 triliun—angka yang kemungkinan lebih besar jika ditelusuri dari berbagai kasus dengan putusan hukum tetap dalam beberapa tahun terakhir.
Paradoks inilah yang menonjol: di satu sisi Pancasila diagungkan di podium dan dipajang di dinding kelas, tetapi di sisi lain banyak kebijakan, praktik politik, dan perilaku sosial yang justru menjauhi semangatnya. Toleransi terkikis, kesenjangan sosial melebar, ekologi terabaikan, dan politik kerap kehilangan etika. Kesaktian historis belum sepenuhnya menjelma dalam kehidupan nyata.
Relevansi Pancasila dalam kehidupan berbangsa sesungguhnya dapat ditakar melalui tiga pilar utama tata kelola: pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat.
Pada tingkat pemerintah, peran yang diemban sangat menentukan. Regulasi yang lahir seharusnya mencerminkan semangat keadilan sosial. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 menegaskan arah pembangunan yang berkelanjutan dan merata. Namun, tantangan terbesar selalu terletak pada konsistensi. Apakah aturan dan kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat, atau justru tersandera oleh kepentingan oligarki politik?
Sementara itu, dunia usaha diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip triple bottom line—profit, people, planet—sejalan dengan semangat Pancasila, menekankan keseimbangan antara keuntungan, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, dalam praktik, tanggung jawab sosial perusahaan masih kerap berhenti pada retorika. Orientasi pada laba sering kali mendominasi sehingga nilai-nilai Pancasila terpinggirkan.
Di sisi lain, masyarakat adalah ruang tempat Pancasila menemukan denyut paling nyata. Tradisi gotong royong, solidaritas, dan musyawarah masih hidup di banyak komunitas. Akan tetapi, globalisasi dan polarisasi politik menguji daya tahannya. Pendidikan karakter yang berkelanjutan, penguatan peran keluarga, dan literasi digital menjadi kunci agar generasi muda tidak tercerabut dari akar Pancasila.
Tantangan terbesar dalam membumikan Pancasila hari ini justru hadir dalam bentuk krisis yang kian nyata. Pertama, krisis integritas politik. Korupsi yang merajalela, praktik politik dinasti, serta lemahnya akuntabilitas lembaga publik memperlihatkan betapa nilai keteladanan dan keadilan sering terabaikan dalam tata kelola negara.
Kedua, krisis keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin melebar, sementara kelompok rentan kerap terpinggirkan dari akses terhadap pendidikan, kesehatan, maupun lapangan kerja yang layak. Hal ini menandakan betapa sila keadilan sosial belum sungguh hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, krisis ekologis. Kerusakan hutan, sungai, danau, laut, serta pencemaran lingkungan dan ancaman perubahan iklim kerap ditempatkan di pinggiran dalam kalkulasi pembangunan. Padahal, sila kelima Pancasila menuntut terwujudnya keadilan tidak hanya bagi antargenerasi, tetapi juga bagi alam yang menjadi penopang kehidupan.
Jika ketiga krisis ini dibiarkan tanpa penanganan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila, maka kesaktiannya akan terus tergerus oleh realitas, dan Pancasila hanya tinggal simbol yang diperingati, bukan jalan hidup yang dipraktikkan.
Pancasila memang sakti dalam sejarah, tetapi kerap rapuh dalam kehidupan nyata. Kesaktiannya tidak boleh berhenti pada peringatan seremonial, melainkan harus diuji dalam keseharian: apakah ia benar-benar menjadi kompas kebijakan, pedoman etika bisnis, dan ruh kehidupan sosial.
Sebagaimana ditegaskan Soekarno, Pancasila adalah philosophische grondslag—dasar filsafat yang wajib diwujudkan, bukan sekadar dihafalkan. Maka, tugas bangsa hari ini adalah memastikan Pancasila tidak hanya diperingati, tetapi dihidupkan. Kesaktian sejati Pancasila bukan terletak pada sejarah yang sudah lewat, melainkan pada keberanian kolektif bangsa untuk menjadikannya jalan hidup di tengah krisis dan tantangan zaman.