Oleh: Mira S. Lubis

(Disadur dari: Bob Rogers, Typhoon Ragasa – We Hardly Blinked, Pearls and Irritations, 2025. Ditambahkan analisis oleh penulis)

“Yang menarik, hal ini terjadi di tengah banyaknya kritik dari negara-negara Barat terhadap sistem pemerintahan Hong Kong yang dianggap otoriter dan tidak demokratis. Namun, dalam konteks menghadapi bencana, yang penting adalah hasil dan kesiapan nyata, bukan sekadar retorika politik.“

Dalam dunia perencanaan wilayah dan kota (PWK), kemampuan suatu kota dalam menghadapi bencana menjadi salah satu indikator penting keberhasilan perencanaan. Banyak kota dirancang dengan visi pertumbuhan ekonomi dan estetika, tapi sering lupa pada aspek ketahanan. Contoh nyata tentang kota yang berhasil menunjukkan ketahanan itu datang dari Hong Kong, saat wilayah ini dihantam oleh super topan Ragasa.

Pada 24-25 September 2025, topan Ragasa melintas hanya sekitar 80 kilometer di selatan Hong Kong, membawa angin kencang dan hujan lebat. Ini adalah badai besar yang biasanya bisa melumpuhkan aktivitas kota dan menimbulkan korban jiwa. Di Filipina, topan ini menyebabkan sedikitnya 24 orang meninggal dunia, puluhan lainnya luka-luka, dan ribuan rumah rusak akibat banjir dan tanah longsor. Sementara di Taiwan, dilaporkan 3 korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang cukup luas, terutama di wilayah pesisir timur. Namun yang terjadi di Hong Kong justru sebaliknya, tak ada satupun korban jiwa. Kurang dari satu hari setelah topan mencapai titik terdekatnya, kota ini sudah mulai beroperasi kembali hampir seperti biasa.

Bandara internasional kembali dibuka dan menangani sekitar 150 ribu penumpang yang sempat terdampak. Sistem transportasi massal seperti MTR, bus, minibus, dan feri sudah kembali berjalan lebih dari 98%. Bahkan pasar saham tetap buka seperti biasa selama badai berlangsung. Pemerintah memastikan staf pendukung bisa tetap bekerja dengan menyiapkan hotel di pusat kota sebagai tempat menginap sementara.

Bagaimana ketahanan kota seperti ini bisa terjadi?

Kuncinya adalah perencanaan yang matang, koordinasi antar lembaga, dan komunikasi publik yang jelas. Sejak awal, badan cuaca Hong Kong sudah memberikan informasi akurat tentang waktu kedatangan topan. Pemerintah pun tidak hanya memberi peringatan kepada publik, tetapi juga mempersiapkan seluruh perangkat pemerintah untuk bertindak cepat. Semua sektor disiagakan untuk menghadapi kemungkinan terburuk.

Hasilnya sangat nyata. Tidak ada korban jiwa. Hanya sedikit korban luka. Listrik tetap menyala bagi lebih dari delapan juta warga. Genangan air cepat ditangani. Sekitar 500 pohon yang tumbang langsung dibersihkan dari jalan agar tidak mengganggu lalu lintas.

Yang menarik, hal ini terjadi di tengah banyaknya kritik dari negara-negara Barat terhadap sistem pemerintahan Hong Kong yang dianggap otoriter dan tidak demokratis. Namun, dalam konteks menghadapi bencana, yang paling penting adalah hasil dan kesiapan nyata, bukan sekadar sistem atau retorika politik. Pemerintahan Hong Kong, meskipun tidak sempurna, menunjukkan bahwa mereka mampu bertindak cepat dan efektif demi keselamatan warganya.

Dari perspektif tata kelola kota, apa yang dilakukan Hong Kong merupakan contoh baik tentang perencanaan berbasis risiko dan koordinasi antarsektor. Penanganan bencana bukan hanya tanggung jawab BPBD atau satu instansi saja, tetapi harus menjadi bagian dari perencanaan kota secara keseluruhan, dari sistem transportasi, perumahan, layanan kesehatan, hingga informasi publik.

Bagi kota-kota di Indonesia, terutama yang sering mengalami banjir atau bencana lain seperti Pontianak, Semarang, Jakarta, atau Palu, pelajaran ini sangat penting. Kita harus mulai mengembangkan perencanaan yang bukan hanya berorientasi pada pembangunan fisik, tapi juga pada ketahanan dan kesiapsiagaan. Peran perencana wilayah dan kota sangat penting dalam mendorong integrasi antara ilmu teknis, kebijakan, dan kebutuhan masyarakat. Kita harus mampu mengusulkan sistem peringatan dini yang lebih baik, membuat jalur evakuasi yang efektif, memastikan layanan publik tetap bisa berjalan, dan melibatkan masyarakat dalam membangun kebiasaan untuk selalu bersiaga.

Peristiwa topan Ragasa menunjukkan bahwa kota bisa tetap tangguh jika perencanaannya matang, komunikasinya jelas, dan pemerintahnya cepat bertindak. Dalam kondisi darurat seperti ini, kepemimpinan kepala daerah, terutama wali kota, benar-benar diuji, bukan hanya dalam hal pengambilan keputusan cepat, tetapi juga dalam menggerakkan seluruh sistem kota agar tetap berjalan. Ketika bencana datang, masyarakat tidak butuh janji atau pidato. Yang mereka butuhkan adalah tindakan nyata, perlindungan, dan rasa aman. Dan semua itu bermula dari sebuah rencana kota yang baik.