Bencana Banjir dan Wajah Pemangku Kebijakan Kita
Desember tahun ini belum tiba. Tapi timur Kalbar sudah tiga kali dilanda banjir. Jangan-jangan ada yang terlewat dalam metode penanganan, dan cara kita merespon bencana.
Oleh: Ireng Maulana (*
SEKARANG, kita-masyarakat hanya punya satu pilihan: menunggu kembali datangnya banjir setelah banjir demi banjir kita rasakan. Semakin waktu, banjir yang kita terima semakin membahayakan dan mengkhawatirkan. Dampak rusaknya terasa semakin dekat dengan kehidupan kita. Namun, kita semua seperti kehilangan kesadaran, bahkan pengetahuaan untuk merespon keadaan serius ini.
Kita hanya menunggu banjir selanjutnya datang dengan bahaya keselamatan yang tidak mampu kita hitung dan kita prediksi. Semua berdiam diri: korban terdampak, pemangku kebijakan, akademisi, korporasi, kelompok masyarakat sipil, komunitas, serta para pihak lainnya yang berkepentingan.
Sepertinya kita masih suka dengan aksi heroik memberikan bantuan kepada para korban terdampak ketika banjir sudah berubah menjadi bencana. Kemudian aksi memberikan bantuan ini menjadi viral, dan kisah-kisah heroik penyelamatan dalam bencana banjir menarik decak kagum yang luas. Cukup menggugah semangat dan adrenalin bukan?
Kita tampak bangga dalam skenario semacam ini, dan pula menikmatinya barangkali. Ketika bencana banjir datang, seolah-olah sebagian besar orang ingin menjadi yang tercepat, terdepan dan terpantas dalam menyerahkan bantuan. Lantas kepeduliaan terekspos dengan sempurna bahwa masih ada empati diantara sesama kita dalam kesulitan.
Di sisi lain, korban banjir merasa sebagai pihak yang paling lemah dan tidak berdaya. Sedangkan mereka yang datang dengan bantuan adalah pihak yang paling bisa memberikan pertolongan dengan cepat, sigap, tanggap dan apapun halangannya akan dihadapi asalkan bantuan dapat diserahkan.
Semua peralatan keselamatan akan adu efektif untuk memberikan pertolongan. Setelah banjir surut, bencananya dilupakan semua orang. Semua aktivitas sudah kembali seperti biasa. Pada waktu dan kesempatan yang kurang beruntung berikutnya jika bencana banjir menghantam kemballi, dan pasti. Kemudian, kita mengulangi siklus, skenario dan posisi kita semua sebagaimana pada banjir-banjir sebelumnya.
Kita sadar banjir akan terus kembali, dan cenderung ‘menikmati’ bencananya. Jika banjir dan bencana ikutannya sudah tidak mampu lagi kita cegah untuk kembali, maka pengetahuaan kita untuk mengurangi daya rusaknya yang paling parah seharusnya dapat diaktifkan.
Sains dan Dilema Politik
Menghadapi bencana banjir tidak hanya tentang mengendalikannya di masa depan, juga kesadaran tentang kesalahan besar yang pernah kita lakukan di masa lalu, dan jangan dikerjakan kembali: Kebijakan yang eksploitatif dan hanya mengejar keuntungan dari pengerukan sumber daya alam secara instan dan massif.
Kita membayangkan adanya konsep pengendalian kebencanaan di daerah (misalkan banjir) yang melibatkan ilmu pengetahuaan. Seharusnnya aspek pengendalian dapat diuraikan dan ditunjukkan jalannya oleh penjelasan ilmiah-akademis. Sekarang tantangan terberatnya adalah kemauan politik (political-will) dari pemangku kebijakan kita di daerah yang memperlakukan pengetahuaan sebagai pintu masuk strategis dalam pengendaliaan bencana banjir.
Sumber daya pengetahuaan harus diaktifkan sehingga kebijakan kebencanaan di daerah memiliki bobot penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan dengan ukuran-ukuran sains. Alam dan kemarahannya dapat dipelajari oleh pengetahuaan. Maka dari itu, pengetahuaan juga dapat menunjukkan jalan untuk meredakan kemarahannya.
Namun, pikiran politik dari pemangku kebijakan kita kadang tidak menemukan jodohnya dengan pengetahuaan. Terkadang jalan pengetahuaan tidak mau mereka ambil untuk membangun solusi atau antisipasi karena mengandung resiko yang tidak popular untuk posisi politik mereka.
Panggung kekuasaan memang segalanya, bahkan pengetahuaan harus menyadari posisi mereka menunggu dilirik kekuasaan untuk mendapatkan kesempatan yang paling kecil sekalipun. Political will belum mendapatkan chemistry yang pas kepada pengetahuaan. Padahal sains dapat memberikan jawaban yang diperlukan kebijakan dalam isu banjir dan bencananya. Sekarang, kita memerlukan lebih dari sekedar tindakan heroik dalam memberikan bantuan ketika bencana banjir datang, tapi juga keterlibatan pengetahuaan yang serius dalam membentuk wajah kebijakan kebencanaan dari para pemangku kebijakan kita di daerah.(*/ Penulis adalah pengamat politik Kalbar)
Mantaap, sy ntah ngapa sy pun kayak ikut tersindir dengan tulisan ni😅…