Seberapa Besar Dampak Banjir di Kalbar?
Saya ingin memulai tulisan ini dengan pertanyaan mendasar; Seberapa cepat dan baik kita bisa mencegah bencana banjir dan bencana lainya dalam waktu tertentu? Atau justru kita malah semakin menambah besar bencana dan dampaknya.
Oleh: Agus Samsudrajat.S *)
BANJIR menjadi jenis bencana tetinggi pertama di nasional versi data BNPB per januari-juni 2021. Termasuk juga bencana banjir di Kalimantan Barat bagian timur atau hulu yaitu calon provinsi Kapuas Raya. Banjir besar 3 kali dalam waku tak sampai setahun, menjadi pelajaran penting buat generasi saat ini dan yang akan datang.
Peta resiko bencana Kalbar sempat memiliki tingkat rawan bencana tinggi atau merah di tahun 2012, tetapi setelah adanya kebijakan rencana penanggulangan bencana 2020-2024 Kalbar termasuk kabupaten di dalamnya telah turun menjadi tingkatan rawan sedang atau kuning. Tidak ada jaminan atau bukan sesuatu yang mustahil jika indeks rawan bencana kita akan berada pada tingkat bencana tinggi atau zona merah kembali.
Dampak banjir tahun ini semakin terasa berat, selain masih dalam masa pemulihan dari pandemi COVID-19, kita juga masih juara angka kematian Ibu, Bayi, dan masalah gizi seperti stunting. Masih minimnya Infrastruktur dan sumber daya dalam mengantisipasi bencana alam dan non alam kedepan menjadi pekerjaan panjang dan berat yang harus kita pikul bersama.
Maka bukan tidak mungkin jika bencana banjir dan dampaknya akan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap angka indeks pembangunan manusia (IPM). Faktanya IPM tahun 2020 di semua Kabupaten calon Provinsi Kapuas Raya masih lebih rendah atau dibawah rata-rata IPM Provinsi Kalbar 67,66. Meskipun IPM Kalbar sudah dibawah 4 point dari rata-rata IPM nasional (71,94).
Dampak Banjir dalam jangka pendek akan menjadi ancaman kesehatan masyarakat. Mulai dari penyakit infeksi, penyakit kronis, kesehatan mental dan masalah gizi disemua usia. Penyakit infeksi pada manusia seperti diare, demam tipoid, DBD, Leptospirosis, Malaria, TBC, pnemonia, COVID-19.
Semakin besar potensi resiko penyakit akibat banjir akan semakin berdampak sistemik kepada pembangunan baik produktifitas, stabilitas ekonomi termasuk pendidikan masyarakat. JIka kita mau masuk ke dalam jajaran setara negara maju, setidaknya pemerintah dan masyarakat harus lebih siap dan konsisten bagaimana kita bisa mengantisipasi segala faktor resiko bencana baik alam maupun non alam seperti penyakit.
Rendahnya peran serta generasi muda dan masyarakat yang peduli dan aktif dalam pembangunan, menjadi salah satu temuan yang menarik dari para peneliti maupun organisasi pemerintah dan swasta. Sebuah studi kebijakan dinegara maju dan berkembang menyimpulkan bahwa rendahnya peran aktif masyarakat jika ada masalah seperti bencana non alam maupun alam disebabkan karena rendahnya kepercayaan publik ke elit pemerintah.
Sedangkan rendahnya kepercayaan pemerintah tersebut disebabkan karena rendahnya kinerja dan peran pemerintah dalam merespon masalah yang terjadi di masyarakat atau disetiap masalah kebijakan yang diambil. Selain itu sikap dan kepribadian pemimpin dan tokoh-tokoh setempat ikut menjadi faktor penentu tinggi rendahnya kepercayaan publik dan peran serta aktif masyarakat.
Bahkan jika kita menggunakan kerangka teori World Bank 2011 yang mengadopsi UNICEF dan Ruel 2008 yang di modifikasi untuk bencana yang menjadi akar masalah bencana alam maupun non alam adalah penduduk, sumberdaya, lingkungan, teknologi, politik, kebijakan dan ekonomi.
Oleh sebab itu jika kita tidak segera bergerak mengantisipasi bencana alam seperti banjir, maka justru akan menjadi pemicu resiko-resiko bencana non alam seperti bencana kesehatan wabah penyakit menular, penyakit kronis, kesehatan mental, kelaparan dan masalah gizi. Beberapa sejarah mencatat, dengan terjadinya bencana kesehatan disuatu daerah, maka akan dapat memicu terjadinya bencana alam seperti kerusakan lingkungan akibat sampah, banjir, kebakaran, kekeringan dan bahkan kelaparan. Jangan sampai kita dan generasi kita kelak semakin terpuruk akibat keputusan dan kebijakan yang kita buat sendiri.
Salah satu upaya mengantisipasi bencana banjir sebagaimana negara maju terapkan adalah dengan fokus memperhatikan kebijakan siaga bencana yang konsisten dan masif, bukan hanya di insfrastruktur dan teknologi tetapi berupa gerakan-gerakan edukasi, pendidikan dan pelatihan terutama sejak usia dini.
Sebagai contoh Belanda dan Jepang merupakan negara yang secara geografis mirip dan rawan bencana memiliki kesiapan yang jauh lebih baik dengan dimulainya oleh kuatnya komitmen kebijakan dan inovasi program mitigasi bencana sejak pendidikan anak usia dini hingga dewasa baik formal maupun non formal.(*/ Penulis adalah akademisi, praktisi kesehatan masyarakat, dan pemerhati kebijakan publik)