Bocornya surat internal DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Jawa Barat baru-baru ini kembali mengguncang wacana tentang profesionalitas pendamping desa. Surat bertanggal 29 Agustus 2025 itu ditandatangani Ketua DPW Ahmad Najib Qodratullah dan Sekretaris Ivan Fadilla. Isinya, instruksi kepada kader untuk menjaring nama calon pendamping desa, terutama di daerah yang tidak memiliki wakil PAN di DPR RI.

Meskipun Wakil Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto, buru-buru menyatakan tidak tahu-menahu soal surat itu, publik sudah terlanjur membaca pesan yang lebih jelas: proses rekrutmen pendamping desa lagi-lagi hendak diwarnai kuota politik. Padahal, secara regulasi, pendamping desa adalah tenaga profesional hasil seleksi resmi Kementerian Desa, digaji dari APBN, dan terikat kontrak kerja. Mereka bukan kader partai, melainkan fasilitator pembangunan di akar rumput—mengorganisir, membimbing, sekaligus memastikan dana desa benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Luka Lama yang Berulang

Kasus PAN ini sejatinya bukan yang pertama. Pada periode sebelumnya, publik juga mencatat pola serupa ketika kementerian dipimpin oleh partai lain. Pola lama yang terus berulang: pendamping desa diperlakukan seolah-olah kursi politik yang bisa dibagi-bagi.

Praktik ini jelas merusak merit system dan menyalahi asas profesionalitas. Bagaimana mungkin kita bisa berharap lahir pendamping desa yang berkomitmen, berpengalaman, dan memahami dinamika sosial-ekonomi-budaya desa, jika sejak awal proses seleksi sudah dibebani syarat tak tertulis bernama “afiliasi politik”?

Apa Kata Regulasi?

Di sinilah pentingnya menengok Permendes Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa.

Pedoman ini menegaskan maksud dan tujuan pendampingan desa: memperkuat kapasitas pemerintah desa, mendorong partisipasi masyarakat, memaksimalkan aset desa melalui BUM Desa, hingga menguatkan kerja sama antar desa. Semua diarahkan untuk mencapai SDGs Desa—desa tanpa kemiskinan, desa sehat, desa ramah lingkungan, dan desa yang berdaya.

Pendamping desa bukan sekadar tenaga teknis, melainkan profesi berbasis kompetensi dan etika. Mereka dituntut memiliki kualifikasi yang jelas:

  • sertifikat kompetensi dari lembaga resmi, atau
  • pengalaman kerja minimal dua tahun di bidang pemerintahan, sosial, ekonomi, budaya, atau teknik,
  • sertifikat pelatihan berbasis standar nasional, atau
  • penghargaan di bidang pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, pedoman menekankan prinsip-prinsip dasar: kemanusiaan, keadilan, kebhinekaan, keseimbangan alam, dan kepentingan nasional. Artinya, pendamping desa harus mampu bekerja dengan peka terhadap keragaman budaya, adil terhadap kelompok rentan, dan berorientasi pada keberlanjutan ekologis.

Jika rekrutmen dipenuhi kuota partai, seluruh maksud dan tujuan regulasi ini runtuh seketika.

Sensitivitas Lokal yang Hilang

Lebih ironis lagi, desa-desa kita justru membutuhkan pendamping yang benar-benar berakar pada realitas setempat.

Desa nelayan di pesisir selatan Jawa jelas berbeda dengan desa pertanian di pegunungan Sumatera, dan berbeda pula dengan desa adat di Kalimantan yang masih kuat dengan struktur tradisionalnya. Semua ini menuntut kehadiran pendamping desa yang punya sensitivitas lokal—sesuatu yang mustahil lahir dari sekadar kedekatan politik.

Jika politisasi ini terus dibiarkan, desa akan terus menjadi arena tarik-menarik kepentingan partai. Padahal, pendamping desa lahir dari semangat reformasi: memastikan masyarakat desa tidak sekadar menjadi obyek pembangunan, tetapi tumbuh sebagai subyek yang mampu berinisiatif, berdaya, dan bersuara.

Jalan Keluar yang Lebih Berpihak

Karena itu, kita perlu berani mengoreksi sistem rekrutmen pendamping desa. Pola baru yang lebih berpihak pada desa justru lebih masuk akal.

Pertama, rekrutmen berbasis lokal. Pendamping desa sebaiknya berasal dari anak muda setempat, aktivis komunitas, atau warga yang punya rekam jejak nyata di desanya.

Kedua, pelatihan intensif. Negara wajib membekali mereka dengan keterampilan teknis—dari perencanaan pembangunan, fasilitasi musyawarah, literasi digital, hingga kepekaan sosial-ekologis.

Ketiga, transparansi proses. Seleksi harus diumumkan secara terbuka, hasilnya dipublikasikan, dan pengawasannya melibatkan publik serta lembaga independen.

Dengan cara ini, kita tidak hanya melahirkan pendamping desa yang profesional, tetapi juga memastikan mereka memiliki keterikatan emosional dengan tanah kelahirannya.

Alarm untuk Masa Depan Desa

Bocornya surat DPW PAN Jabar sejatinya adalah alarm keras. Desa tidak boleh lagi diperlakukan sebagai laboratorium politik praktis. Desa adalah ruang hidup bagi lebih dari 70 persen rakyat Indonesia. Bila desa terus diganggu patronase partai, maka cita-cita membangun Indonesia dari pinggiran hanya akan tinggal slogan.

Pendamping desa bukan kursi legislatif yang bisa dibagi kuota. Ia adalah urat nadi pembangunan desa—posisi strategis yang menentukan apakah dana desa hanya menjadi angka di laporan, atau sungguh menjadi energi perubahan.

Jika pemerintah serius menjaga masa depan desa, hentikan segera praktik “bagi-bagi jatah partai” dalam rekrutmen pendamping desa. Karena pada akhirnya, desa hanya akan tumbuh jika didampingi oleh orang-orang yang setia kepada rakyatnya—bukan kepada kepentingan partai.

Oleh: M. Hermayani Putera