Belajar dari papua TJBY

Belajar dari Papua

SAAT masuk ke Papua dulu, freeport juga tidak langsung membuat lubang besar. Mereka mulai dengan menguasai mental pejabat kita. Mereka pastikan dulu luas kawasan yang bakal mereka kelola, kandungan di dalamnya, sampai skenario memastikan orang penting yang “membantu” tercapainya tujuan mereka dapat posisi di kemudian hari (terutama setelah pensiun).

Oleh : Tom John Budi Yanto

Mereka juga mulai merangkul SEGELINTIR elit orang asli untuk berada di barisan mereka. setelah itu, barulah perut ibu bumi papua mereka keruk sejadi-jadinya.

Apakah orang asli Papua (OAP) sejahtera di kemudian hari? Tentu saja tidak! Yang kaya pemegang saham, elit negara komparadornya, elit lokal yang menjilatnya. Sementara lihatlah OAP hari ini. Mereka punya gunung emas itu, nenek moyang mereka hidup berabad-abad di situ. Tapi banyak dari mereka hari ini cuma menjual sirih-pinang yang dibeli misionaris (pun ini adalah bentuk iba, dan menolong).

Ada berapa juta jiwa di sana yang terpaksa angkat kaki dari kampung halamannya? Ada berapa bahasa yang nyaris punah, ada banyak sekali budaya yang juga hilang. Ada banyak komunitas yang diadu dan saling berperang, belakangan tiap tahun selalu ada konflik yang berujung pengungsian.

Jangan bilang kerugian sosial itu tidak terkait Freeport. Mereka di sana, punya senjata, regulasi berpihak, bahkan mekanisme kerja kaum pribumi pun dibuat kontrak yang bahkan mengabaikan aturan ketenagakerjaan. Coba sesekali googling pakai keyword; demo tenaga kerja freeport.

Ada ribuan masalah sosial yang tak selesai di belakang hari setelah freeport bercokol di sana. Masyarakat adat boleh ribut dengan sesama, tapi jangan coba ribut hak adat dengan freeport; moncong senjata, ancaman kriminalisasi, bahkan banyak diantaranya tinggal nama.

Mantra kesejahteraan, mantra pembangunan, mantra pertumbuhan ekonomi, mantra NKRI harga mati, dan puluhan buih jargon, tak ada yang terbukti.

Awalnya juga freeport merayu OAP, dengan menjadikan segelintir elit di level manajerial. Beberapa ada yang mendadak sejahtera, tapi sungguh banyak yang berada di bawah garis kemiskinan.

Karena aku khawatir, yang terjadi di Papua, terjadi pula di Sintang–Apalagi setelah Omnimbus Law Cilaka itu, malah memberi karpet merah bagi perusahaan tambang emas di Sepauk-Tempunak–, maka sejak awal aku bakal menolak investasi sejenis itu. Dan pula menjaga jarak dengan para pendukungnya.

Kalau ada yang mendukung investasi itu masuk, mari kita berdebat langsung (bila perlu terbuka). Menolak atau menerima adalah hak masing-masing. Tapi, untuk yang mendukung investasi boros lahan itu, aku sarankan kita tak usah berteman, bahkan di media sosial sekalipun. Tapi kalian masih tetap boleh berdebat dengan ku di dunia nyata. *

TJBY