Penulis : Mas Ageng
Yang pertama kali terbesit dalam pikiran saya bahwa persoalan penajajahan dan perampan seluruh bidang kehidupan tidak bisa di pisahkan dengan soal tanah. Hidup dan menghidupi saling memiliki kohesi sosial serta memiliki peran penting. Tanah yang di duduki oleh makhluk hidup merupakan serangkaian hidup dan bertahan. Dalam hal penghidupan garansi hidup dan menghidupi makhluk berada di alam.
Kalau kita tarik dari cerita lampau siapakah yang paling murni dalam menjaga lingkungan? Makhluk yang sudah hidup turun temurun atau orang dengan pengetahuan kaffah yang melabeli diri memiliki inovasi atas bumi? Seolah-olah seperti mempercepat kiamat bumi demi sejahtera atas nama investasi. Kalo kata bayem sore “kerja pemerintah apa? Ngatur bumi kan?.” Satire seperti ini membawa kita pada tatanan siasat ugal-ugalan yang di jalankan dari berbagai macam bentuk pemerintahan. Lagi-lagi dalam perbincangan kemajuan selalu meninggalkan persoalan sangat kompleks.
Di ujung batas pandang penglihatan para raksasa penghancur bumi orientasi selalu terarah pada pembangunan pragmatis. Hidup para makhluk yang memiliki tatanan sosial alami sering terancam. Dengan pengetahuan warisan yang tiap detik di jaga dan di manifestasikan dalam bergembira merawat bumi keadaan itu dubuktikan bahwa ditangan masyarakat adat bumi waras dan slamet.
Sekilas Sejarah penjajahan
Versi ilmiah yang berbasis pada penelitian dan cerita pengalaman empiris di akar rumput menjadi pertarungan dialogis. Siapa yang sebetulnya menjadi saksi sejarah tersebut? Ada yang kekeh sejarah ditulis oleh pemenang ada yang menyebut sejarah dibuat oleh yang hidup. Dengan demikian perihal sejarah masih menyisakan pertempuran klaim atas siapa pewaris sesungguhnya.
Yang menarik menjadi diskusi apa memang benar bahwa Indonesia sebagai negara dijajah ratusan tahun. Mari kita tarik kebelakang bahwa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1945. Tahun 2023 bila dikurangi dengan tahun1945 hanya sejumlah 78 tahun. Artinya disini indonesia baru berusia belum 1 abad. Lantas yang dijajah lalu itu Indonesia atau siapa? Sederhanaku masih pada kerajaan yang eksis kala itu.
Penjajahan merupakan babak kelam dalam sejarah umat manusia. Di balik kemegahan dan kejayaan yang sering tergambar dalam buku-buku sejarah, tersimpan pula luka-luka yang tersembunyi. Meski telah berlalu bertahun-tahun sejak era penjajahan, bekas luka-luka tersebut masih terasa dan membekas hingga saat ini. Pengaruh penjajahan terlihat dalam ketidaksetaraan ekonomi antara negara-negara yang pernah dijajah dengan negara penjajahnya. Ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya masih menjadi isu krusial di banyak negara yang pernah dijajah.
Dampak penjajahan tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi, namun juga berdampak pada identitas dan budaya. Pemutusan hubungan dengan warisan budaya asli, penindasan terhadap bahasa dan agama tradisional, serta penggantian sistem nilai dan norma-norma masyarakat oleh nilai-nilai penjajah, semuanya memberikan luka yang mendalam.
Namun, di tengah bayang-bayang penjajahan, bangsa-bangsa yang pernah dijajah juga memiliki kekuatan dan keberanian untuk bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan serta hak-hak mereka. Perlawanan terhadap penjajah, baik dengan cara diplomatik maupun dengan perjuangan bersenjata, telah mengubah arah sejarah dan membawa harapan bagi generasi mendatang.
Eksistensi Adat: Nasionalis Organik tanpa Angkat Senjata
Ketika kita membahas nasionalisme, sering kali kita terfokus pada bangsa-bangsa yang secara politik diakui. Namun, tidak boleh kita lupakan bahwa di balik bangsa-bangsa resmi itu, ada masyarakat adat yang telah hidup dan mempertahankan identitas budaya mereka selama berabad-abad. Coretan ini akan menjelajahi sedikit mengenai nasionalisme masyarakat adat, menggali betapa pentingnya memahami dan memperkuat warisan budaya mereka.
Masyarakat adat merujuk pada kelompok manusia yang memiliki hubungan mendalam dengan tanah, alam, dan tradisi-tradisi leluhur mereka. Identitas masyarakat adat didasarkan pada nilai-nilai budaya, bahasa, kepercayaan spiritual, dan hubungan harmonis dengan alam sekitar. Nasionalisme masyarakat adat berakar pada semangat untuk mempertahankan dan memperkuat identitas mereka sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tanah air mereka.
Masyarakat adat kerap kali dihadapkan dengan tantangan dalam menjaga keberadaan mereka di tengah arus perubahan iklim dan modernisasi. Eksploitasi sumber daya alam, urbanisasi, dan perubahan sosial mengancam kelangsungan hidup dan warisan budaya mereka. Namun, di tengah tantangan tersebut, sukma nasionalisme masyarakat adat tumbuh kuat.
Nasionalisme masyarakat adat melibatkan upaya untuk mempertahankan dan memperkuat identitas budaya mereka. Ihwal ini dapat dilakukan melalui pengembangan pendidikan yang menghormati dan mempromosikan nilai-nilai budaya mereka, serta melalui peningkatan kesadaran dan pengakuan atas hak-hak mereka sebagai kelompok yang unik.
Perlatan pertempuran Masyarakat adat sangatlah sederhana dimulai dari alutsista seperti palu, arit, cangkul, caping, dan perbekalan makan selama di hutan. Bukan pistol, tank, senapan serbu, bom, jet tempur, artileri kalau ini punya pasukan tempur negara-negara hehe. Saya akan mengajak sedikit membayangkan tentang filosofi tanah, bahwa Ketika tanah kita lukai justru tanah memberikan kemakmuran dan penghidupan. Jika dikelola secara arif dan penuh kebijaksanaan niscaya akan seimbang. Bila sebaliknya apa yang terjadi? Bayangkan sendiri saja, kalau saya ikut membayangkan apa bedanya dengan oligarki santun seperti si nganu hehe.
Selain itu, nasionalisme masyarakat adat juga melibatkan pelestarian dan pemeliharaan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Masyarakat adat memiliki pemahaman yang mendalam tentang keseimbangan ekosistem dan pentingnya menjaga keberlanjutan sumber daya alam. Dengan mempertahankan lahan adat mereka, mempraktikkan pertanian berkelanjutan, dan menjaga kelestarian sumber air dan hutan, masyarakat adat berperan aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan.
Melalui nasionalisme masyarakat adat, mereka juga berkontribusi dalam memperkaya kebudayaan nasional secara keseluruhan. Warisan budaya mereka, termasuk seni tradisional, musik, tarian, dan cerita rakyat, memberikan warna dan kekayaan pada identitas nasional. Pengakuan dan penghargaan terhadap warisan budaya masyarakat adat juga merupakan langkah penting dalam membangun masyarakat yang inklusif dan beragam.
Nasionalisme masyarakat adat adalah semangat cinta dan kesetiaan terhadap tanah air yang diwujudkan melalui pelestarian identitas budaya, pemeliharaan lingkungan alam, dan kontribusi pada kebudayaan nasional secara keseluruhan. Dalam menjaga dan memperkuat nasionalisme masyarakat adat, kita memperkaya dan memperkukuh keberagaman budaya yang merupakan kekayaan bangsa. Bagian ini sangat penting untuk menghormati, mendukung, dan belajar dari masyarakat adat, sehingga kita dapat membangun masyarakat yang inklusif dan berkelanjutan.
Para Penjaga Wilayah itu Masyarakat Adat
Alam Lestari merupakan suatu perkara yang tidak sederhana dan masih mengisahkan persoalan yang kompleks. Intervensi zaman edan buah dari arogansi keilmuan yang selalu diarahkan pada pembaruan pragmatis. Masyarakat yang tinggal di pedalaman sangat jauh dari hiruk pikuk perkotaan sering kali dianggap kelompok kuno dan ketinggalan zaman.
Masyarakat adat memiliki ikatan kuat dengan tanah dan wilayah di mana mereka hidup. Mereka secara turun-temurun mewarisi pengetahuan, kearifan, dan tradisi yang telah terbentuk selama berabad-abad. Peran penting masyarakat adat dalam menjaga wilayah, melindungi lingkungan alam, dan melestarikan kehidupan tradisional mereka masih menjadi warisan yang tergantikan dengan apapun.
Dalam pandangan konservasi masyarakat adat memiliki pemahaman yang mendalam tentang ekosistem lokal, flora, fauna, dan sumber daya alam di wilayah mereka. Mereka menjaga keseimbangan alam dengan mempraktikkan kegiatan berkelanjutan seperti sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Masyarakat adat sering kali menjadi penjaga yang efektif dalam mencegah perusakan lingkungan dan mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem.
Dari optik pelestarian budaya dan identitas, melestarikan kehidupan tradisional masyarakat adat, termasuk adat istiadat, bahasa, seni, dan pengetahuan lokal. Melalui praktik-praktik budaya ini, mereka menjaga dan memperkuat identitas kelompok mereka. Penjagaan wilayah oleh masyarakat adat juga tentang menjaga pewarisan nilai-nilai budaya yang unik dan penting bagi mereka untuk generasi mendatang.
Berangkat dari kacamata pengelolaan sumber daya berbasis komunitas lokal, Masyarakat adat memiliki sistem pengelolaan sumber daya yang berbasis pada prinsip keadilan, partisipasi, dan keberlanjutan. Mereka mengatur penggunaan tanah, air, dan sumber daya alam lainnya melalui aturan adat dan keputusan bersama. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan.
Dalam mendeteksi perubahan iklim mereka memiliki pengetahuan yang menurut saya justru lebih maju daripada teknolgi di zaman kiwari. pengetahuan lokal yang tidak hanya berguna dalam menjaga wilayah, tetapi juga dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan modern. Pengetahuan mereka tentang cuaca, pola migrasi hewan, dan tumbuhan lokal memungkinkan mereka untuk beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat. Pengetahuan ini berharga bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Ilmu “Pulai Kampung”
Kampung merupakan suatu wilayah yang dihidupi oleh Masyarakat heterogen dengan ragam keunikannya. Secara sederhana, ilmu pulang kampung adalah pengetahuan dan pemahaman tentang cara kembali ke kampung halaman atau tempat asal dengan baik dan efektif. Ilmu pulang kampung juga dapat mencakup pengetahuan tentang tradisi dan kebiasaan di kampung halaman serta cara berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman di sana.
Tau fenomena urbanisasi, kan? fenomena di mana sejumlah besar penduduk desa bermigrasi atau pindah ke area perkotaan. Urbanisasi dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti mencari pekerjaan yang lebih baik, akses ke fasilitas dan layanan yang lebih baik, serta peluang pendidikan yang lebih luas di kota. Tapi coba bayangkan justru watak perkotaan yang kemudian dibawa ke desa seperti teknologi, percakapan, hingga tradisi baru.
Di desa, urbanisasi dapat menyebabkan penurunan populasi, kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya pembangunan infrastruktur dan layanan publik. Di sisi lain, di perkotaan, urbanisasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada fasilitas dan layanan yang ada, seperti perumahan, transportasi, kesehatan, dan pendidikan.
Urbanisasi yang masif di desa dapat memberikan peluang dan tantangan bagi kedua kawasan tersebut. Di desa, dengan berkurangnya populasi, mungkin ada kesempatan bagi pemerintah dan masyarakat untuk melakukan revitalisasi ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang lebih baik. Di perkotaan, urbanisasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi industri, tetapi juga dapat menyebabkan masalah seperti kemacetan, kepadatan penduduk, dan kesenjangan sosial.
Penting untuk diingat bahwa urbanisasi adalah fenomena rumit dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan dan kebijakan yang baik untuk mengelola urbanisasi yang masif di desa agar dapat memberikan manfaat yang seimbang bagi kedua kawasan tersebut.
Saya akan menekankan pada ilmu “pulai kampung’ menjadi prinsip dan konsep dasar yang di pegang teguh untuk siapapun Ketika mencari berguru diluar. Sampainya dirumah jangan merasa angkuh dengan ilmu yang dibawa pikirkan kembali apakah ilmu itu akan meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan atau justru memberangus alam sekitar. Kalau saya pinjam istilahnya mbah tan “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan”