Perencanaan Pembangunan berbasis SDA atau Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan dengan tiga pilar pembangunan yaitu berkelanjutan Ekonomi, berkelanjutan Sosial, dan berkelanjutan Lingkungan menjadi skema pembangunan yang diterapkan dewasa ini untuk menjamin bahwa pembangunan saat ini tidak berkompromi terhadap “celaka-nya” persoalan lingkungan masa depan bagi generasi berikutnya. Tentunya konsep pembangunan ini disusun secara mantap demi adanya kesinambungan pembangunan kualitas hidup dengan kualitas lingkungan yang lestari agar tetap dapat memenuhi kebutuhan masa yang akan datang, upaya meminimalisir pemanfaatan SDA yang eksploitatif dengan upaya-upaya “Pengelolaan SDA berkelanjutan” jadi alat untuk memastikan hal ini dapat diwujudkan tidak lupa juga kebijakan-kebijakan yang disusun untuk melegitimasi bentuk pengelolaan agar dianggap “Legal” oleh Pemerintah. Di Daerah, khususnya di Kabupaten Sintang bentuk Pembangunan Berkelanjutan diupayakan dengan di-gaung-kannya Sintang sebagai Kabupaten Lestari lewat RPJMD yang menitik fokuskan pengelolaan SDA sebagai aspek fundamental pembangunan daerah. Banyak pula skema pengelolaan SDA ditawarkan oleh kelompok masyarakat sipil yang menjadikan Desa dampingan sebagai contoh praktik penerapan alat atau skema pengelolaan yang dinilai komprehensif dengan kebutuhan pelestarian lingkungan, juga pemerintah Kabupaten Sintang yang semakin mengkonkritkan upaya keberlanjutan SDA dengan mengeluarkan Kebijakan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagai acuan dalam pelaksanaan RPJMD dan RPJPD dengan memperhitungkan aspek lingkungan hidup daya dukung dan daya tampungnya agar on the track sesuai kaidah-kaidah pengelolaan yang dituangkan di dalamnya.
Banyak skema pengelolaan SDA dan Kebijakan-kebijakan yang disusun untuk mengupayakan keberlanjutan didaerah malah kadang mengalami penyimpangan menjadi bentuk pertarungan pengetahuan antara kelompok Masyarakat Sipil dan Pemerintah yang masing-masing menganggap bahwa formula yang diberikan adalah yang paling paten dan sesuai dengan kebutuhan pelestarian yang ada sehingga mengaburkan nilai partisipasi pilar pembangunan. Salah satu contohnya adalah terbitnya RPPLH yang secara tiba-tiba dengan peran yang signifikan seolah menjadi wasit dari pembangunan daerah yang pada proses penyusunannya hanya melibatkan sekelompok akademisi lewat penelitian-penelitian yang lalu sebagai basis informasi merencanakan garis besar kerja-kerja pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai validitas data sebagai bahan dalam merencanakan mitigasi maupun pengelolaan SDA. menganggap dokumen RPPLH ini sebagai Kitab pembangunan yang berkelanjutan di Kabupaten Sintang tentunya sukar diterima dikalangan masyarakat sipil maupun akademisi lain.
Berbicara mengenai pengelolaan lingkungan hidup tentunya tidak lepas dari kebutuhan dan kapasitas SDA yang ada untuk menunjang atau memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai pemegang kendali pengelolaan SDA itu sendiri, lestari ataupun tidak lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh keputusan dan perlakukan manusia. Hal ini yang banyak disadari namun kadang “Luput” dalam formula-formula pengetahuan yang disusun untuk membangun perencanaan pengelolaan lingkungan hidup atau SDA.
Hal yang luput tersebut saya maksud dengan “Jejak Ekologis (Ecological Footprints)” yang dapat didefinisikan juga sebagai dampak dari aktivitas manusia terhadap kapasitas lingkungan hidup “Bio Capacity” tempat ia tinggal. Penting untuk memperhitungkan dampak terhadap lingkungan hidup yang dihasilkan oleh manusia mulai dari bangun hingga tidurnya juga melihat kapasitas SDA untuk menunjang kebutuhan hidup populasi manusia yang ada di suatu hamparan landscape maupun suatu wilayah administratif Negara hingga Desa. kalkulasi ini harusnya jadi bagian dari dasar merencanakan penyusunan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup juga menjadi dasar dalam penelitian-penelitian dari para akademisi maupun para ahli agar lebih melihat secara nyata sejauh dan sebesar apa kebutuhan populasi yang ada di suatu ekosistem terhadap lingkungan dan SDA yang ada. sayang nya kalkulasi jejak ekologis ini masih belum menjadi sorotan dan dimuat dalam penyusunan dokumen RPPLH sebagai perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan yang akan digunakan selama 30 Tahun pembangunan Kabupaten Sintang.
Dengan kesadaran penuh tentunya ini akan menjadi pekerjaan yang panjang seandainya implementasi kalkulasi Jejak Ekologis diterapkan sebagai basis perencanaan pengelolaan lingkungan hidup terkhusus di daerah. Persoalan klasik mengenai anggaran pelaksanaan tentunya akan tetap terdengar dari pemangku kebijakan terkait, termasuk pula keterbatasan kewenangan setiap pihak, dari banyaknya keterbatasan tentunya menghasilkan suatu keniscayaan terhadap pembangunan yang optimal, maka kemudian pencapaian-pencapaian terhadap pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup pada akhirnya hanya akan tetap menjadi “Kata Sambutan” atau Slogan dari program – program pembangunan berkelanjutan, terakhir, Diskusi – diskusi kritis antar kelas menanggapi persoalan pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan perlu diintensifkan mengingat keberlanjutan hidup ataupun kepunahan manusia merupakan tanggung jawab setiap kelas, juga agar praktik pembangunan berkelanjutan bukan sekedar utopia belaka.
Penulis : Kokoh Riky