Sejarah perubahan Indonesia mencatat bagaimana dinamika peran masyarakatarakat sipil. Khususnya pada masa Orde Baru & ‘Orde Reformasi’ hingga kini. Pasang-surut hubungan masyarakatarakat sipil & negara juga terekam dalam setiap pergantian rezim pasca reformasi. Keterlibatan dan perlawanan masyarakatarakat sipil terhadap rezim, tensinya juga naik-turun. 

 

Dimasa Orde Baru, kerja-kerja pemberdayaan & advokasi NGO tentu berbeda pendekatannya dengan saat ini. Community Development adalah tema yang ‘soft’ bagi rezim saat itu. Isu & agenda advokasi kebijakan tidaklah semasif sekarang. Kerja-kerj ‘bawah tanah’ masih jadi pilihan taktis untuk menghindari represi rezim. Momentumnya terbuka saat ada kasus-kasus publik yang jadi perhatian nasional, seperti kasus ‘Kedung Ombo’, salah hukum/peradilan sesat ‘Sengkon & Karta’, dll. Disamping isu utama Rezim Soeharto adalah ‘Kolusi, Korupsi & Nepotisme’. Narasi perubahan dari masyarakat sipil menyatu dalam tuntutan mahasiswa. 

 

Era Reformasi ditandai dengan dinamika ‘perkelahian elit’ yang merusak tata politik Indonesia. Poros Tengah & terpilihnya Gus Dur adalah potret manuver elit yang meninggalkan agenda reformasi. Mahasiswa & masyarakat sipil kembali ke porsinya masing2, elit lalu sibuk menata kekuasaannya. PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu 1999, yang mestinya mendapatkan porsi sebagai Presiden, ditelikung oleh manuver Amien Rais Cs. Lalu ditengah jalan (thn 2001) Gus Dur dijatuhkan melalui jalur MPR. Megawati melanjuntukan sisa waktu kepemimpinan nasional hingga pemilu 2004. Padahal sejarah mencatat, Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Sri Sultan Hamengkubuwono X, serta Amien Rais adalah tokoh bangsa dengan ‘Kesepakatan Ciganjur’ mereka, mampu memicu radikalisasi gerakan mahasiswa & masyarakat sipil menumbangkan rezim Soeharto. 

 

Agenda Masyarakat Sipil

Berbagai isu penting & ideologis mewarnai ragam kebijakan & regulasi mengawali era reformasi. Mulai TAP MPR hingga paket UU reformasi berhasil ditetapkan. Khususnya terkait politik hukum negara yang ingin memberantas KKN peninggalan rezim Soeharto. Sebut saja UU 28/99 ttg penyelenggaraan negara yang bersih & bebas KKN, serta UU 31/99 ttg pemberantasan TIpikor. Termasuk UU 22/99 ttg Otonomi Daerah untuk menjawab soal hubungan pusat-daerah yang jadi salah satu tuntutan reformasi. 

 

Ciri lain era reformasi adalah dibentuknya lembaga-lembaga tambahan negara seperti MK, KPK, Ombudsman, KY, Komnas HAM, KPU dll. Saluran-saluran aspirasi rakyat yang sebelumnya tersumbat, terbuka kembali melalui berbagai jalur legal yang disiapkan negara untuk menjamin hak warga negara dalam seluruh aspek kehidupannya. Namun kini, praktek2 tata kelola pemerintahan serta kehidupan bernegara makin jauh dari cita-cita & agenda reformasi. Lembaga-lembaga negara seperti MK & KPK bahkan ingin dilemahkan, atau jadi ‘instrumen kekuasaan’ rezim, penegak hukum jadi alat pemukul rezim pada lawan2 politiknya. Begitu juga penyelenggara pemilu yang didera berbagai kasus menyangkut integritas. Isu pemilu berintegritas seperti ‘jauh panggang dari api’. Belum lagi  maraknya kasus konflik tanah & SDA di wilayah Proyek Strategis Nasional yang dipaksakan. 

 

Masyarakat Sipil & Negara  

Hubungan masyarakat sipil & negara dalam lanskap sejarah Indonesia, khususnya pasca reformasi, mengalami pasang surut. Kadang bulan madu & manis, tak jarang pula menjadi bagian dari oposisi. Begitulah semestinya ‘standing’ masyarakat sipil terhadap rezim negara. Semasa Megawati & Gus Dur, masyarakat sipil dalam masa ‘musim semi’. Banyak agenda, isu & tuntutan strategis masyarakat sipil diakomodir oleh negara. Lalu dilanjuntukan di masa SBY yang kadang mesra & kadang juga berhadapan. Namun ruang dialog terbuka. Bbrp kasus politik & hukum yang menjurus pada ‘krisis kepercayaan publik seperti ‘Koin untuk Prita, Cicak-Buaya dll, dapat diselesaikan melalui pengawasan publik. Itu terjadi krn ruang dialog masyarakat sipil & negara terbuka. Lalu puncaknya ketika 2014 ramai-ramai masyarakat sipil terlibat dalam agenda pemenangan Jokowi, ikut menyusun dokumen Nawacita, dst. Jokowi adalah Kita. Begitu slogan masyarakat sipil saat itu. Sekarang bagaikan menelan ludah seolah kecele, melihat bagaimana di akhir masa jabatannya Jokowi malah menyiapkan jalan dinasti politiknya. Bahkan harus menabrak etika & merubah aturan main bernegara. Hanya demi keluarganya. 

Tak sedikit kebijakan kontroversi yang dibuat Jokowi di masa kedua pemerintahannya. UU Ciptaker adalah contoh faktual betapa pragmatisnya rezim hari ini memuluskan agenda transaksional bersama para taipan & 9 naga. Cukup operasi politik di tingkat elit, bila perlu dengan intimidasi & sandera melalui kasus hukum, jadi kebijakan itu. Beda sekali di periode pertama Jokowi, masyarakat sipil menaruh harapan besar dalam menuntaskan agenda strategis yang dituangkan dalam RPJMN. Tapi berhenti di periode pertama. Begitu periode kedua, makin dekat berakhirnya kekuasaan Jokowi, ‘Raja Solo’ itu makin menggila. Tepatnya nekat memaksakan kehendaknya. Apapun caranya. Itu terbukti dengan operasi DPR yang ingin menganulir putusan MK. Syukur mahasiswa bergerak cepat & berhasil menggagalkan rencana jahat elit itu. 

 

Now, what next? 

Menjelang pelantikan Prabowo 20 OKT nanti, masyarakat sipil seolah ‘dipaksa’ menerima kenyataan pahit. Isu, agenda & tuntutan apa yang ingin di desakkan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran? Atau masyarakat sipil perlu membaca ulang keadaan eksisting hari ini? Padahal fakta sudah terang benderang. Tinggal mendekatkan frekuensi, mencocokkan bacaan, plus merumuskan langkah presisi. Sambil ukur kekuatan untuk menegaskan standing. 

Sebab masyarakat sipil hari ini berada di persimpangan sejarah. Konstruksi masa depan seperti apa yang ingin diletakkan oleh masyarakat sipil? Agar ‘legacy peradaban’ masyarakat sipil dapat menyongsong generasi emas dimasa datang dengan optimis. 

 

Merdeka..!!!