
Setiap manusia punya masanya dan setiap masa punya manusianya,termasuk negara kita.
Isi rakyatnya sekarang sudah berubah.
rakyat dengan kelahiran tahun 60 an dengan generasi seperti di era kelahiran 90 an ke atas.
Terutama teknologi IT berkembang begitu pesatnya.
Bahkan setiap detik semua berita bisa terakses sampai kepelosok negeri.
Dulu generasi kelahiran tahun 60 – 70 an masih mengenal permainan “petak umpet” bahasa Pontianaknya”tapok-tapok”. Dimana permainan tapok-tapok sudah tidak terdengar lagi dan berubah wujudnya dalam bentuk “game online”.
Relasinya sekarang menjadi agak tidak nyambung, hal yang mungkin tidak kita sadari.
Jika dulu masyarakat hidup dalam era petak umpet, kini kita bergerak ke era aquarium.Perubahan ini bukan sekadar metafora, tetapi realitas sosial yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi, media sosial, dan budaya digital yang serba terbuka.
Pada era petak umpet, informasi masih dapat disembunyikan.
Pemerintah,korporasi, bahkan individu bisa mengatur narasi dan menutup sisi-sisi tertentu dari dirinya.Kontrol atas informasi menjadi alat kekuasaan, dan publik seringkali hanya menjadi penerima pasif.
Namun, masuk ke era aquarium, segala sesuatu menjadi transparan.
Aktivitas pejabat, perilaku tokoh publik, bahkan kehidupan sehari-hari masyarakat biasa dapat terekam, tersebar, dan dinilai secara instan.
Media sosial menjadi “kaca” tempat setiap orang bisa mengintip dan memberi komentar.
Big data, algoritma, dan keterhubungan digital memperkuat kondisi ini: sulit ada yang benar-benar tersembunyi.
Kelebihan era aquarium adalah meningkatnya akuntabilitas.
Korupsi lebih cepat terbongkar, kesalahan institusi sulit ditutupi, dan masyarakat memiliki ruang partisipasi lebih besar dalam mengawasi kekuasaan. Transparansi membuka peluang lahirnya tata kelola yang lebih bersih.
Namun ada pula tantangan serius. Transparansi sering berubah menjadi “kepoisme”, di mana publik lebih sibuk mengintip privasi ketimbang mengawasi substansi. Tekanan untuk selalu tampak “sempurna” memicu fenomena pencitraan berlebihan, bahkan menumbuhkan budaya cancel culture yang tidak memberi ruang bagi kesalahan manusiawi.
Dengan demikian, tantangan terbesar di era aquarium bukan hanya soal keterbukaan informasi, tetapi bagaimana masyarakat, media, dan institusi mampu mengelola transparansi tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.Publik perlu dewasa dalam menilai, media harus bijak dalam memberitakan, dan individu belajar menata diri dalam ruang yang serba terbuka.
Era aquarium memang tak terhindarkan. Pertanyaan utamanya: apakah kita akan menjadikan transparansi sebagai alat kontrol sosial yang sehat, atau justru terjebak dalam kebisingan tanpa substansi?
Seperti situasi saat ini tuntutan antara yg demo dan yg didemo belum tampak nyambung….
Oleh : Mei Purwowidodo