Banjir Hulu Kalbar; Sekelumit Sejarah dan Dugaan Kerusakan Alam

2021 menjadi tahun mengejutkan bagi kawasan timur Kalbar. Bagaimana tidak, belum puncak siklus curah hujan (Desember hingga permulaan tahun berikut), sudah tiga kali banjir melanda. Bahkan kondisi banjir kali ini intensitasnya tak main-main. Diduga menjadi banjir paling besar dalam 30 tahun terakhir.

Oleh: Tom John Budi Yanto *)

Wisata Banjir

SEBELUM Oktober 2021, banjir seakan jadi peristiwa jamak. Setidaknya hal itu tergambar beberapa tahun terakhir. Warga tak lagi kaget, meski siklus banjir sedang, dan berat makin sering terjadi. Jika sebelum 2000an, siklus banjir sedang dan besar terjadi dalam siklus belasan tahun, kini frekuensinya tak lebih dari jangka dua tahunan.

Ada kondisi unik yang menyebabkan banjir di kawasan perhuluan Kalbar, sehingga banjir di timur Kalbar itu tidak aple to aple jika dibandingkan dengan banjir yang terjadi di kawasan pesisir. Di kawasan pesisir macam Jakarta, Pontianak, atau Semarang, ilmuan dan publik bisa melihat langsung korelasi perubahan iklim yang menyebabkan naiknya permukaan laut. Banjir di kota pesisir—selain kiriman air curah hujan perhuluan—juga disebabkan rendahnya daya tampung banjir rob, dan terganggunya aliran via jalur drainase. 

Sementara di perhuluan Kalbar, seperti Kapuas Hulu, Melawi, dan Sintang, jelas tak terkait langsung dengan naiknya permukaan air laut, akibat terus mencairnya es kutub utara-selatan. Banjir di hulu Kalbar justru terjadi di kawasan dengan ketinggian 30 sampai 45 meter di atas permukaan laut (mdpl). 

Mirisnya, siklus banjir sedang hingga besar 10 tahun terakhir makin sering terjadi. Jika mengacu pada peristiwa banjir besar era 90an, tercatat banjir paling besar yang melanda terjadi pada September 1991 hingga Januari 1992. Saat itu sejumlah layanan publik tersendat. Meski suplai barang ke kawasan hulu relatif lancar, namun banjir itu menghambat distribusi darat dari Pontianak ke sejumlah ibu kota kabupaten di timur. Tak ayal, kenaikan harga bahan pokok pun tak terelakkan.

Banjir besar juga terulang pada 2012. Kawasan  hulu ironisnya terdampak paling parah. Saat itu, Kecamatan Serawai (50-60 mdpl) adalah salah satu contoh daerah yang nyaris lumpuh karena banjir bahkan membuat fasilitas publik seperti sarana kesehatan, pasar, dan beberapa sekolah tergenang banjir. 

Kecamatan Ambalau (Kemangai 35-45 mdpl) di ujung tenggara Sintang juga terdampak tak kalah parah. Beberapa bangunan warga bahkan sempat hanyut terseret banjir. Panen kebun komoditi juga tersendat. Pasca banjir warga menghadapi masalah serius baru, yakni krisis air bersih, hingga diare. 

Tak hanya Kabupaten Sintang saja yang dipukul banjir hingga babak belur. Kapuas Hulu juga tak kalah menyedihkan. Utamanya Kecamatan Boyan Tanjung. Sebagai kecamatan di Uncak Kapuas yang paling rendah (30-35 mdpl) banjir 2012 menyebabkan Boyan juga lumpuh. Banjir bahkan merusak sejumlah jembatan. Sekolah terpaksa diliburkan, hingga layanan publik juga tersendat. 

Banjir tahun itu juga berdampak parah di kawasan ibu kota kabupaten Kapuas Hulu, sehingga berdampak pemadaman listrik, dan terganggunya layanan dasar publik yang diselenggarakan otoritas setempat, utamanya di Putussibau Utara (30-35 mdpl). 

Di Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Melawi, tahun 2012 juga terdampak parah akibat banjir. Bahkan banjir saat itu sampai ke Tugu Juang Apang Semangai, di kawasan pasar. Praktis sejumlah toko dan lapak terpaksa tutup. Rentannya jaringan instalasi juga mengakibatkan listrik terpaksa dihidupkan berkala. 

Sejumlah kawasan padat penduduk seperti Masuka pantai Sintang (22-25 mdpl), Nanga Mau (Kayan Hilir, Sintang; 30-40 mdpl), Tebidah (Kayan Hulu, Sintang 40-45 mdpl), 

Setelah 2012, banjir tahun-tahun berikutnya juga relatif sedang hingga besar intensitasnya.

Meski tak bisa disamakan dengan kondisi 1991 dan 2012, namun banjir tahun setelahnya selalu menganggu layanan publik dan penyelenggaraan pendidikan. Dampak susulan adalah naiknya harga kebutuhan pokok. Siklus banjir sedang hingga mendekati skala 2012, bahkan makin sering terjadi. 

Jika sebelumnya butuh 21 tahun ke siklus banjir besar berikutnya, banjir potensi sedang terjadi nyaris dua tahun sekali. Utamanya yang terjadi pada 2015, 2017 hingga awal tahun 2018, akhir 2018. Dan terakhir 2021.

Selain itu, banjir 2017 hingga 2021, lamanya waktu tergenang lebih singkat. Tak sampai sepekan sejumlah kawasan sampel di atas relatif tergenang tak terlalu lama. Beberapa kawasan bahkan tak sampai sepekan. 

 

KRISIS AIR BERSIH

Banjir 2021

Ada sejumlah fakta mencengangkan terkait banjir yang terjadi hingga awal kuwartal ketiga 2021. Sejumlah daerah terdampak mengalami gangguan serius, sehingga menyebabkan ratusan keluarga terpaksa mengungsi, lantaran tak lagi memungkinkan bermukim di rumah terlanda.

 

Banjir pertama tahun ini bahkan terjadi pada waktu yang tak lazim, yakni pada bulan Juli. Bulan dimana dalam siklus musim kawasan tropis harusnya kemarau. Ataupun jika pada kawasan curah hujan tinggi, hujan di pertengahan tahun umumnya tak menyebabkan banjir. Kemungkinan besar ada siklus musim terganggu dan berdampak pada tingginya intensitas hujan pada bulan tersebut. Akibatnya debet air Sungai Melawi dan Kapuas bertambah drastis dan berujung banjir ke pemukiman.

 

Banjir kedua melanda kawasan timur Kalbar terjadi pada awal Oktober. Sejumlah kawasan rawan tak ayal terdampak. Infrastruktur publik seperti akses penghubung antar desa juga terganggu, utamanya kawasan hulu perkotaan. Banjir di hulu beberapa hari kemudian berubah jadi banjir yang didistribusikan alam ke hilir, karena lemahnya daya tampung dan serap. Kawasan perkotaan mengalami banjir berselang hari dari kawasan hulu.

 

Dua banjir tahun ini membuktikan dampak kerusakan alam, sehingga kawasan hilir kemudian yang menampung limpahan air, akibat tingginya curah hujan di hulu. Meski relatif singkat, tak ayal sejumlah fasilitas pendidikan terganggu. Apalagi beberapa sekolah di kawasan hulu baru mulai melaksanakan kegiatan belajar mengajar tatap muka, setelah sekian lama prosesnya dilakukan secara daring (dalam jaringan; online), imbas pandemi covid-19.

 

Tak hanya pendidikan, kegiatan ekonomi juga terganggu. Selain menyulitkan distribusi barang dan jasa, banjir kedua juga menyebabkan naiknya sejumlah komoditi pertanian, seperti sayuran, hingga arus bolak-balik distribusi BBM ke beberapa kecamatan.

 

Meski waktu tergenang relatif sebentar, dua minggu berselang banjir susulan pun tiba. Dimulai pada akhir pekan ketiga, dan awal pekan ke empat Oktber, banjir di kawasan hulu berpindah ke kota. Putussibau, Sintang, dan Nanga Pinoh jadi kawasan terdampak paling parah. Banyak warga membandingkan banjir ketiga tahun ini dengan kondisi 2012 dan tahun 1991. Ada dugaan banjir kali ini intensitasnya sama dengan kondisi 30 tahun sebelumnya.

 

Kondisi Kota Sintang misalnya. Banjir kawasan PKP Mujahidin dan Pasar Seroja lumpuh total. Toko-toko tutup, beberapa warga mengungsi, hingga pemadaman listrik dilakukan. Kondisi tersebut nyaris sama dengan yang terjadi pada 1991 silam, dimana akses menuju Baning, tak bisa ditempuh dengan kendaraan, roda dua dan roda empat. Bedanya kali ini kontur jalan PKP sudah ditinggikan berkali-kali sejak 30 tahun silam. Sehingga—meski kawasan Alai dan Seroja lumpuh—kawasan PKP masih bisa diakses (dengan susah-payah) mengggunakan kendaraan.

 

Banjir ketiga tahun ini bahkan nyaris mengisolasi Pasar Masuka. Padahal pasar itu menjadi penyuplai utama kebutuhan pokok (utamanya sayuran) bagi pasar-pasar lain di Kota Sintang. Sementara itu akses dari kawasan utara Sintang (Ketungau-Binjai) juga terputus. Memaksa warga mengganti moda transportasi berkali-kali, karena harus beralih ke perahu. Akibatnyapun bukan kepalang. Biaya transportasi dan distribusi barang juga naik berkali-kali lipat. 

Penyebab

 

Jika di awal tulisan ini berangkat dari pemahaman, bahwa banjir kawasan hulu yang relatif tinggi (berdasarkan pengukuran mdpl), tidak terkait langsung perubahan iklim yang berakibat naiknya permukaan laut, maka tulisan ini mengarah pada sebab lain.

 

Kemungkinan penyebab paling dekat adalah kerusakan alam di kawasan hulu. Alam yang rusak sebenarnya masalah klasik sejak era HPH (akhir 1980an hingga 1990a-2000an). Kerusakan itu signifikan terjadi di kawasan penyangga, yang biasanya menjadi penampung dan penyerap air akibat curah hujan. 

 

Kerusakan itu belakangan makin masif pasca izin konsesi, dan masuknya investasi berbasis lahan seperti perkebunan monokultur. Akibatnya di kawasan hulu Kalbar kini nyaris tak punya kawasan penyangga. 

 

Rusaknya hutan penyangga diperparah dengan pembangunan infrastruktur pendukung investasi berbasis lahan. Selain penebangan dan land clearing yang masif, ada kontur alam yang dikorbankan. Yakni banyaknya penimbunan sungai kecil (anak sungai) untuk membangun jalan logg, jalur produksi-distribusi, hingga pembuatan blok kebun monokultur. Sementara sejumlah sungai besar di hulu Kalbar (Kapuas, Melawi, Pinoh) ditopang oleh ribuan sungai kecil. Investasi berbasis lahan malah membuat banyak sungai kecil itu mati, tidak berfungsi. 

Meraba-raba

Meski rentetan peristiwa banjir terjadi, dan intensitasnya mengkhawatirkan, Sayangnya belum ada upaya serius yang berdampak signifikan untuk memperbaiki—atau setidaknya memperlambat—kerusakan alam yang terjadi. Tak hanya gagap memitigasi dampak bencana—mengatasi masalah sosial akibat banjir, dan memperbaiki alam—hingga kini pemegang otoritas di timur Kalbar, bahkan belum mampu memastikan kebermanfaatan investasi untuk kesejahteraan.

Alih-alih memberi karpet merah untuk investasi demi kesejahteraan, ekonomi kawasan timur juga tidak tumbuh gemilang. Padahal industri ekstraktif dan eksersif, sudah masif terjadi dan dibiarkan. Publik juga tidak pernah diberi gambaran jelas soal asas manfaat investasi. Atau (jika pun ada), maka layak diduga informasi macam itu hanya tersedia untuk pemegang otoritas saja.

Tak pernah ada tindakan solutif, karena bahkan (jangan-jangan) pemerintah sendiri juga tak bisa memrediksi kapan banjir bakal terjadi, lalu apa saja langkah yang disiapkan jika terjadi. Seperti berjalan dalam gelap. Gagap, meraba-raba, dan tidak terencana.

Sejauh ini yang dilakukan pemerintah hanya mengglorifikasi upaya mendistribusikan bantuan sembako (yang bahkan jumlahnya terbatas). Kerap bantuan dan anggaran yang tersedia bahkan hanya untuk sekali banjir dalam setahun. Sehingga banjir berikutnya di tahun yang sama, masyarakat dan komunitas kerap berimprovisasi mengatasi sendiri.

Jangankan memikirkan mitigasi, pemegang otoritas sepertinya belum berniat melibatkan publik untuk sekedar mendiskusikannya. Sampai kapan siklus gagap, dan meraba-raba ini terjadi? Jangan-jangan menunggu kemarahan publik tersulut.(*/ penulis adalah penggiat di Forum Belajar Stakeholder Kapuas Raya)