Ekosida, Krisis Ekologis dan Krisis Daya Kritis Kaum Muda
Fenomen banjir sudah jadi momok bencana alam langganan di timur Kalbar. Masalah ini mendesak jadi perhatian banyak pihak, utamanya kaum muda. Karena lingkungan sejatinya akan diwarisi oleh generasi mendatang.perlu melihat perspektif bencana banjir sebagai salah satu dampak dari ekosida.
Oleh: Jaka Kembara
BEBERAPA tahun terakhir, berita dan cerita tentang banjir telah menjadi langganan sorotan media, serta jadi pembicaraan masyarakat, khususnya Kabupaten Sintang. Bisa kita lihat bagaimana berita tentang banjir di beberapa kecamatan seperti Kayan Hulu, Serawai, Ambalau, Dedai dan Kayan Hilir menjadi langganan pemberitaan tersebut.
Masih jelas diingatan, beberapa waktu lalu banjir telah melanda kecamatan Ambalau dan Serawai yang mengakibatkan Desa Korong Daso jadi wilayah terdampak paling parah. Sejumlah aktivitas publik terhenti, infrakstruktur rusak, warga yang mengungsi, dan sejumlah kerugian yang ditimbulkan.
Sayangnya masih banyak masyarakat, terutama kaum muda dan para eksekutif-legislatif di daerah yang beranggapan, banjir sebagai siklus alam tahunan yang jadi lumrah.
Membicarakan bencana alam yang seakan jadi siklus tahunan, harusnya didasarkan pada data dan fakta lapangan, terkait bentang alam, dan dugaan eksploitasi lingkungan. Kabupaten Sintang sendiri memiliki luas 21.638 kilometer persegi. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Sintang, Saat ini luas konsesi perkebunan kelapa sawit mencapai 542.254,74 hektare dengan luas realisasi tanam mencapai 195.989 hektare atau 25% dari total luas izin.
Dari data tersebut, kaum muda Sintang seharusnya menjadi kritis bahwa ada krisis ekologis yang sedang terjadi. Krisis itu akan jadi akumulasi bencana lebih besar sebagai dampak luasan izin yang telah diberikan tersebut. Jika ditelusuri lagi dengan dampak dari pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) beberapa tahun lalu di beberapa kecamatan seperti Serawai, Ambalau, Kayan Hulu dan Kayan Hilir, menjadi wajar jika kita seharusnya kritis dengan kejadian alam yang terjadi pada hari ini di kecamatan yang terletak di perhuluan tersebut merupakan dampak dari aktivitas pasca pemberian izin tersebut.
Ekosida
Ada sebuah kata yang terus dipopulerkan sebagai istilah untuk tindakan kejahatan lingkungan hidup, yaitu ekosida atau ecoside. Ekosida adalah bentuk kejahatan pengrusakan lingkungan dan ekosistem yang dilakukan oleh manusia, sebuah penamaan yang secara khusus untuk memberikan tekanan bahwa perusakan lingkungan adalah sebuah tindakan kejahatan.
Kampanye ekosida sebenarnya adalah respon terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi, sebagai awal dari krisis ekologi dan mengajak masyarakat terutama kaum muda untuk memberikan perhatian serius, dan berpikir tentang perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Asal muasal terjadinya bencana, konfik agraria dan kejahatan lingkungan lainnya. Karena itulah, kampanye mengenai ekosida menjadi penting, khususnya di Kabupaten Sintang.
Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup, krisis iklim dan bencana ekologis di Sintang yang terjadi hingga hari ini, semestinya dibaca oleh kaum muda Sintang dalam logika kompleks antara pertumbuhan ekonomi dan investasi yang diagung-agungkan. Ketidakpahaman pemimpin Sintang atas perubahan lingkungan hidup, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam setiap narasi pembangunan, serta dampak bencana yang tidak benar-benar dibaca oleh pemberi izin investasi.
Celah Kritis Kaum Muda
Kaum muda Sintang sudah seharunya menjadi benar-benar kritis ditengah tingkah laku pemimpin Sintang, yang menjadikan lingkungan bukan sebagai isu utama di daerah, sehingga membiarkan bencana terjadi dengan insensitas meningkat dari tahun ke tahun.
Apalagi, Pemkab Sintang sendiri sebenarnya menjadi inisiator berdirinya Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). LTKL sendiri merupakan wadah asosiasi di sejumlah pemerintah kabupaten, yang bertujuan mewujudkan pembangunan lestari (menjaga lingkungan dan menyejahterakan masyarakat).
Kaum muda Sintang harusnya peka ketika jargon “lestari” dipakai oleh Pemkab Sintang guna mengampu semua jenis kebijakan. Karena ada konsekuensi normatif penggunaan frasa tersebut. Artinya ada kaidah berbasis pelestarian alam yang harus dipenuhi oleh Pemkab Sintang. Apalagi semua kebijakan yang dikeluarkan berbasis pembiayaan publik (APBD).
Tak hanya itu ada kelanjutan jargon “lestari”, yakni penggunaan frasa “berkelanjutan” sebagai metode kebijakan pembangunan. Secara sederhana bisa diartikan bahwa, kebijakan pembangunan memerhatikan upaya penghentian dan atau pembatasan penggunaan lahan, pembatasan industri ekstraktif, dan mengoptimalkan manfaat kebijakan yang dikeluarkan untuk keberlangsungan kesejahteraan penerima manfaat.
Sayangnya, jika dikritisi lebih dalam frasa lestari dan berkelanjutan hanya jadi sebatas jargon semata. Kaum muda mestinya melihat hal tersebut secara utuh sebagai bagian kritis dari ketidakseriusan Pemkab Sintang. Jargon yang terlihat “wah” itu, belakangan malah dikerjakan dengan gagap, lantaran tidak banyak perubahan signifikan yang berdampak baik bagi lingkungan.
Jargon “berkelanjutan” menjadi jargon bagi pemimpin Sintang hari ini untuk secara berkelanjutan juga memberikan karpet merah pada industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan monokultur, pelaku PETI, pembangunan infrastruktur tanpa pernah menghitung daya dukung dan tampung lingkungan hidup yang kemudian menjadi superhero ketika terjadi bencana, memobilisasi bantuan secara serampangan, sambil terus menyalahkan alam yang padahal sejatinya tidak mempunyai kemampuan mitigasi bencana yang baik.
Hari–hari ini, daya kritis kaum muda Sintang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu bagi kelangsungan ekologi di Kabupaten Sintang. Gagasan liar kaum muda Sintang sudah saatnya menjadi benteng kokoh untuk mempertahankan kekayaan sumberdaya alam Sintang dari eksploitasi masif yang dapat berakibat pada kehilangan budaya yang menyebabkan entitas sebagai masyarakat adat terancam punah, ancaman kesulitan ekonomi, ancaman bencana yang lebih besar dikemudian hari.
Sudah selayaknya kampanye Ekosida menjadi fokus bagi kaum muda Sintang yang pada hari ini masih menyimpan kekayaan alam yang berlimpah. Akhirnya, pada daya kritis kaum Sintang ini, kita semua berharap muncul gagasan, orasi, statement yang membangkitkan kesadaran peduli lingkungan di tengah lemahnya kemampuan para pemimpin Sintang untuk berpikir bahwa ada alam, budaya dan manusia lainnya yang menjadi fokus utama dan landasan bagi mereka dalam mengambil keputusan.(*)