K R I S I S
Oleh ; Hermawansyah
Ketika menyebut diksi ‘krisis’, maka kita akan terbayang suatu keadaan yang tidak stabil. Situasi yang akan menimbulkan akibat lebih parah serta berbahaya jika tidak segera diambil langkah penanggulangannya.
Krisis juga berdimensi kompleks, baik eksternal maupun internal. Tak jarang pula disebut krisis multidimensional. Karena krisis pada satu aspek akan mengakibatkan krisis-krisis berikutnya. Sebagaimana dulu pada medio 1996-1997, krisis moneter di tingkat global telah memicu terjadinya krisis ekonomi dan politik di tanah air. Isu kenaikan harga BBM & Rupiah yang terus melemah berdampak pada melonjaknya harga bahan pokok. Gerakan reformasi 98 pun mendapatkan momentumnya untuk menumbangkan rezim kleptokrasi Soeharto-ORBA.
Begitu juga krisis iklim, ketika upaya mitigasi dan adaptasinya tidak mampu menekan dampak yang makin meluas, maka akan memicu terjadinya krisis pangan dan energi. Karena itulah setiap tahun para pimpinan negara di dunia berkumpul dalam forum UNFCC-COP guna menyepakati langkah global yang terencana, terukur & sistematis guna mengendalikan dampak dari perubahan iklim.
Di era disrupsi yang serba cepat perubahannya dewasa ini, plus lalu-lintas informasi yg tanpa batas, jika langkah & kebijakan negara ‘gagal’ meyakinkan masyarakat, dapat memicu terjadinya krisis kepercayaan publik. Ini yang berbahaya jika berakibat pada suasana ‘distrust’. Sebab apapun pilihan kebijakan yang ditempuh pemerintah, seolah tidak ada yang benar. Apalagi di tahun politik hari ini, perbedaan persepsi antara elit & publik harus dapat dijembatani dengan narasi yg mampu meyakinkan publik bahwa kita masih dalam koridor semestinya. Track kebijakan yg ditempuh Pemerintah sejalan dengan aspirasi publik terhadap masalah dan tantangan yg dihadapi.
Walaupun suara-suara oposisi yang membanjiri jagat medsos, namun kepercayaan publik terhadap Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin relatif stabil. Bahkan jika dibandingkan dgn tahun terakhir periode kedua SBY pada 2013, kepercayaan publik terhadap Pemerintah hari ini jauh lebih tinggi. Beberapa survei kredibel menunjukkan trend itu. Kepercayaan publik diatas 80% terhadap Pemerintahan Jokowi, jauh diatas SBY yang hanya berkisar 40-an %. Ini modalitas yang lebih dari cukup sebetulnya untuk mengawal transisi hingga terbentuknya Pemerintahan pasca Pemilu 2024. Artinya, krisis kepercayaan publik yang dapat memicu gejolak sosial-politik ‘diramalkan’ sulit terjadi. Apalagi Pemerintah dinilai berhasil melewati masa krisis akibat pandemi global Covid-19 & mampu menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Krisis Kepemimpinan?
Krisis Gagasan?
Krisis Agenda
Nanti ujungnya: ‘mari rebut kekuasaan, karena dengan kekuasaanlah kita dapat mentrasformasikan gagasan perubahan guna memperkuat pelayanan publik untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat’.