Hari Jumat merupakan hari istimewa. dalam kepercayaan umat Islam, Jumat dinobatkan sebagai hari yang agung. Banyak ritual keagamaan yang dianjurkan untuk dilaksanakan Umat muslim di hari ini. Sangking istimewanya, konon, Tuhan menciptakan manusia pertama tepat pada hari jumat, Adam. di hari yang agung ini kehidupan manusia resmi dimulai. Begitupun akhir kehidupan umat manusia kelak, katanya kehidupan ini akan berakhir pada hari yang sama. Jumat.
Tapi, keistimewaan hari Jumat di kota cinta Habibie Ainun, Parepare, tidak dirasakan oleh saudara-saudara umat Kristiani. Jumat 06 oktober kemarin, menjadi jumat yang radikal di kota cinta. Jumat yang seharusnya menjadi hari yang baik untuk kaum muslim khusyuk melakukan ritual keagamaan, menyerukan konsolidasi persatuan di tengah kondisi bangsa yang carut marut. Malah sebaliknya yang terjadi. Hari yang agung ini menjadi hari semangat intoleran kembali dipertontonkan. Kali ini, oleh kelompok yang mengatasnamakan “forum masyarakat peduli kota santri”. Salah satu kelompok yang tergabung dalam forum ini adalah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Dengan busana ke Islam-islaman, memakai kopiah, berbaju koko yang dilengkapi sarung. Selepas sholat jumat, Mereka menenteng, lalu membentang spanduk yang bertuliskan. “Menolak pembangunan sekolah Kristen Gamaliel di lingkungan kaum Muslimin”.
Entah dalil apa yang mereka gunakan, dengan perasaan tanpa dosa sedikitpun, mereka menolak pembangunan sekolah di kota ini. Kota yang bergelar kota cinta, kota yang dicita-citakan sebagai mercusuar pendidikan di utara sulawesi selatan. Penolakan ini, jelas berbanding terbalik dengan gelar Parepare sebagai kota cinta. Cinta itu menyejukkan, mengandung nilai-nilai filantropi. Cinta itu penuh dengan welas asih. Penolakan ini jelas tidak lahir dari rasa cinta, penolakan ini adalah ekspresi kebencian. Bagaimana bisa bercita-cita menjadi kota pendidikan, jika membangun sekolah saja tidak mendapatkan izin?
menurut saya, menolak pembangunan sekolah, adalah sikap yang tidak pro terhadap misi negara mencerdaskan anak-anak bangsa. Menolak pembangunan sekolah, sama halnya tidak menginginkan anak-anak bangsa untuk mendapatkan pemerataan pendidikan secara layak.
Pelarangan pendirian sekolah Kristen di lingkungan kaum Muslimin, adalah argumentasi yang cacat. Sama sekali tidak bisa diterima dengan akal sehat. Jika argumentasi ini dibenarkan, sama halnya, sekolah Kristen tidak bisa dibangun di Kota Parepare. Sebab mayoritas penduduk Parepare beragama Islam. Begitupun di Indonesia. Mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, maka sekolah Kristen tidak bisa dibangun di Indonesia. Argumentasi ini jelas lahir dari kecacatan berpikir.
Selain argumentasi yang cacat, penolakan pembangunan sekolah Kristen Gamaliel di Parepare, jelas mengebiri sikap toleransi antar umat. Bagaimana mungkin ada satu agama yang lebih superior dari agama lain di Republik ini. Republik yang lahir dari perjuangan rakyat dengan latar belakang agama yang multi rupa. hal ini jelas mengancam keberlangsungan hidup kekayaan terbesar Indonesia, kekayaan yang tidak dimiliki oleh bangsa manapun. Kemajemukan.
Hal lain Yang membuat miris adalah, para pelakunya berlatar belakang dari organisasi, yang saya paham betul, sarapan pagi kader-kadernya adalah diskusi tentang kekuasaan, kebijaksanaan, pluralisme dan toleransi.
Hal ini tentu menjadi tanda tanya, Bagaimana bisa orang-orang yang saat menjadi mahasiswa tidurnya dengan karya-karya Nurcholish Madjid, paginya bersenggama dengan ajaran-ajaran Syafi’i Ma’arif, masuk kampus menenteng buku Fazlur Rahman Malik. Pasih mengutip perkataan-perkataan Gus Dur “Tidak penting apapun Agama atau Sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa Agamamu”.
Apa ia, ajaran-ajaran yang mereka baca saat menjadi mahasiswa tidak berkesan sama sekali? Ataukah mungkin mereka tidak membaca buku-buku rujukan anak-anak HMI kebanyakan? Atau jangan-jangan mereka malas baca waktu menjadi anggota HMI? Masuk HMI hanya untuk berelasi agar bisa dekat dengan kemapanan?
pertanyaan-pertanyaan ini bukan pertanyaan tak berdasar. Sebab saya paham betul, bagaimana konstruksi berpikir anak-anak HMI. Sudah menjadi keharusan, mereka mengkhatamkan, tak sedikit yang mengamini, tiga isu utama metode liberalisasi sang guru bangsa Nurcholish Madjid. Sekularisasi, intelektual freedom dan idea of progress. Saya paham betul bagaimana anak-anak HMI menjunjung tinggi nilai-nilai Pluralisme, ajaran Cak Nur. Maka tak heran, jika banyak anak-anak HMI berkarib dengan kawan-kawan lintas agama.
Penolakan pembangunan sekolah Kristen Gamaliel di Kota kelahiran BJ Habibie, yang dilakukan oleh KAHMI, tentu akan berimbas pada marwah HMI. Organisasi yang dikenal, kental dengan puspa ragam pemikiran akan dipertanyakan, sebab ulah para alumninya.
Selain itu, peristiwa penolakan pada hari jumat kemarin. Menurut saya, adalah perilaku yang menodai satu peristiwa penting dalam fase perjuangan menuju kemerdekaan Republik ini. Peristiwa ini menodai sumpah pemuda. Sumpah yang lahir dengan susah payah 95 tahun silam. Akhir bulan ini akan kembali diperingati.
Argumentasi ini tentu tidak sembrono. Saya memiliki dasar yang kuat. Fakta sejarah menuliskan, bahwa sebelum tiga butir sumpah pemuda menjadi kesepakatan, di hari yang sama, minggu 28 Oktober 1928 pembahasan yang tidak kalah penting adalah, pembahasan tentang pendidikan anak-anak bangsa Indonesia. Bagaimana anak-anak Indonesia bisa memperoleh pendidikan secara layak. Agar mereka bisa memiliki karakter cinta tanah air dan menjadi pribadi yang merdeka. Setelah perbincangan tentang pendidikan diselesaikan, barulah tiga butir sumpah pemuda dibahas kemudian disepakati di hari yang sama.
Fakta sejarah Ini menjadi dasar yang kuat atas tuduhan saya. Bahwa penolakan pembangunan sekolah Kristen Gamaliel di Kota Parepare adalah perilaku yang menodai persatuan dan kesatuan, menodai sumpah pemuda. Sumpah yang menjadi pengikat persatuan. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Indonesia. Bukan satu agama.
Penulis : Pengembara Radikal Yang Menolak Tua