“HMI sebaiknya dibubarkan saja, agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat.”
-Nurcholish Madjid-
05 Februari datang kembali. Pertanda, genap 77 tahun usia Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mengusung komitmen kebangsaan dan keindonesiaan sejak kelahirannya, HMI mendeklair diri sebagai organisasi perjuangan dan kekaderan. Tapi apakah benar kedua komitmen tersebut masih ada didalam tubuh HMI?
Ada yang bilang, kalau HMI memiliki kontribusi besar dalam perjalanan panjang republik ini. Tapi ya, namanya perjalan panjang, tentu hal positif dan negatif selalu jalan beriringan. Sayangnya, kontribusi positif yang diberikan oleh HMI hanya tinggal romantisme masa lalu. Hanya menjadi mantra pemikat untuk merekrut anggota baru. Sementara yang negatif terpampang nyata didepan mata.
Saat komitmen keumatan dan kebangsaan yang HMI agung-agungkan ditagih oleh rakyat, kader-kadernya malah sibuk berseteru memperebutkan kekuasaan, sibuk menjadi tim pemenang Caleg. Sibuk bermanuver untuk memenangkan kandidat capres-cawapres.
Dimana HMI saat konstitusi republik ini di obok-obok oleh Jokowi dan kolega? Saat ramai civitas akademika turun gelanggang dan berani bersuara mengkritik politik cawe-cawe Jokowi, yang dianggap menyimpang dari prinsip moral demokrasi. Dimana suara HMI, yang katanya Harapan Masyarakat Indonesia. Dimana komitmen kebangsaan dan keumatan yang dibangga-banggakan itu?
Rupanya komitmen HMI telah berganti rupa. Keumatan dan kebangsaan kini menjadi komitmen untuk dekat kekuasaan. Lalu, apalagi yang tersisa? Independensi? yang katanya harta berharga milik HMI satu-satunya. Ooo, jangan salah boss, barang tersebut telah lama digadaikan kepada para pemilik modal dan para penguasa.
Bukti dari tuduhan saya ini, bisa kita lihat pada setiap perhelatan Kongres HMI. Konon, kongres yang dahulu sering melahirkan gagasan visioner, sekaligus tempat melahirkan rekomendasi untuk keberpihakan kepada umat dan perbaikan bangsa. Kini tidak lagi, arena itu tak lagi sesak dengan perkelahian gagasan. Kongres HMI hari ini hanya menjadi tempat pemodal dan penguasa untuk transaksi jual beli suara cabang. Bukan lagi yang paling kritis dan yang paling intelek yang dicari untuk menahkodai HMI. Tapi yang paling kuat bekapan dana dan yang mendapatkan restu istana. HMI bukan lagi Himpunan Mahasiswa Islam, Tapi Himpunan Mahasiswa Istana.
Kongres ke 32 di Pontianak baru-baru ini misalnya, sama sekali tidak ada perkelahian gagasan untuk keberlangsungan lembaga. Yang ada hanyalah perkelahian fisik karena keinginan-keinginan pragmatis tidak terpenuhi. Yang ada hanyalah jual beli suara, yang ada hanyalah pamer kemeja dan sepatu. Yang ada hanya kalkulasi berapa duit yang habis, dan bagaimana cara untuk mengembalikannya.
Anak HMI mana yang bisa menampik kebenaran ini? Saya hampir sepuluh tahun ber-HMI, paham betul praktek-praktek pragmatisme kawan-kawan dalam setiap perhelatan akbar HMI. Setelah era Cak Nur, perhelatan kongres ke kongres hampir tidak ada yang berubah. Tidak ada cuan, tidak ada surat rekomendasi.
Praktek-praktek pragmatis ini, juga sangat berdampak pada proses perkaderan HMI. Dampaknya sangat buruk. (Pertama) pola perkaderan yang monoton, sama sekali tidak ada kebaruan. Tidak lagi menjadi penjawab tantangan zaman. (Kedua) proses seleksi untuk mengikuti kader lanjutan (LK2) sudah tidak melalui penyaringan yang ketat. Hampir ada lagi proses seleksi secara objektif yang mengedepankan kualitas. Sudah sangat jarang kita temukan calon peserta LK2 dipulangkan karena tidak lulus screening test.
Intermediate Training (LK2) yang konon adalah forum sakral, sekarang hanya menjadi forum formalitas untuk memenuhi persyaratan menjadi pengurus harian, atau formalitas untuk mendapat legitimasi menjadi narasumber dalam forum-forum perkaderan. Intermediate tidak lagi menakutkan seperti dahulu, tidak ada lagi syarat menyelesaikan minimal lima puluh buku agar dapat mengikutinya.
Hari ini, untuk menjadi peserta forum intermediate syaratnya tidak lagi se filosofis dulu. Kader-kader HMI hanya membutuhkan mandat dari cabang asal untuk menjadi peserta Intermediate. Dan syarat itu sangat mudah dan pragmatis, cukup dekat dengan kanda. Perkara layak atau tidak itu bukan urusan peserta, melainkan lobi dari kandanya. Bayangkan kalau urusan perkaderan di HMI saja selesai hanya dengan modal lobi. Meski tidak semuanya, tapi hampir semuanya.
Perkaderan tidak lagi menjadi jantung organisasi, yang ketika ia berhenti berdetak maka kehidupan organisasi mati. Perkaderan hanya menjadi batu loncatan untuk jabatan-jabatan pragmatis setelahnya. Menjadi komisioner KPU misalnya. Atau berkarir di PB agar dekat dengan kekuasaan.
Sudahlah, lebih baik kita mengakui saja, organisasi ini memang telah jauh keluar dari reel perjuangan. Sudah sejak lama organisasi ini meninggalkan khittahnya, khittah perjuangan. Organisasi ini mengidap penyakit kronis stadium akhir. Tidak ada lagi harapan untuk sembuh.
Pada kondisi HMI yang kian hari, kian memprihatinkan. Barangkali kita perlu menengok kembali pernyataan Nurcholish Madjid. Cak Nur cendikiawan kenamaan Indonesia, yang juga mantan ketua PB HMI menjabat dua periode, pernah menyarankan agar baiknya HMI dibubarkan saja. Tepatnya dalam seminar kepemimpinan dan moralitas bangsa di Jakarta 13 Juni 2002.
Ungkapan ini bukan ungkapan kebencian sang guru bangsa Cak Nur. Ini adalah bentuk kecintaannya kepada HMI. Daripada menjadi bulan-bulanan dan dilaknat lebih baik HMI dibubarkan saja. Mencintai HMI tidak harus menutup mata dengan apa yang terjadi didalam tubuh HMI hari ini.
Bukankah hirarki tertinggi dalam mencintai adalah siap menerima kritik. Dan “kritik adalah jalan untuk mencapai puncak kemanusaiaan” kira-kira begitu pesan Fazlur Rahman Malik, seorang pemikir modernis yang reformis. Tak lain adalah guru Nurcholish Madjid. Sudah saatnya kita berhenti mengagungkan kebesaran masa lalu. Saya sepakat dengan mendiang Cak Nur, baiknya HMI dibubarkan saja.
Penulis : Achmad Faisal Dinejad