Industri sawit di Indonesia telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, membawa dampak signifikan terhadap perekonomian negara. Namun, perkembangan ini juga menyisakan berbagai masalah ekologis dan sosial, terutama di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam, seperti di Gurung Mali. Salah satu fenomena yang muncul seiring dengan pesatnya industri sawit adalah tren peningkatan jumlah petani sawit swadaya. Di Gurung Mali, para petani lokal kini memilih untuk mengalihkan lahan pertanian mereka menjadi perkebunan sawit, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maupun untuk mengikuti peluang pasar yang menggiurkan. Meskipun dapat meningkatkan pendapatan, fenomena ini memiliki konsekuensi serius terhadap keberlanjutan ekosistem, terutama terhadap tembawang, rimba, dan gupung yang ada mengingat statusnya yang berada di wilayah APL sangat memungkinkan untuk di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Tembawang, rimba, dan gupung di Gurung Mali merupakan ekosistem yang memiliki fungsi ekologis yang sangat penting. Tembawang adalah kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat baik secara individu maupun adat, sementara rimba adalah hutan alam yang menyimpan kekayaan flora dan fauna, sedangkan gupung merupakan lahan basah yang menjadi tempat hidup berbagai spesies. Ketiga ekosistem ini saling mendukung dalam menjaga keseimbangan alam dan kelangsungan hidup masyarakat lokal. Namun, dengan semakin banyaknya petani sawit swadaya yang membuka lahan di wilayah Gurung Mali, peluang terjadinya konversi lahan Tembawang, Rimba dan Gupung juga semakin besar sehingga ditakutkan akan menyebabkan hilangnya habitat alami, menurunnya keanekaragaman hayati, serta terganggunya pola hidup masyarakat yang bergantung pada hasil alam.

Fenomena petani sawit swadaya ini terjadi karena adanya ketergantungan masyarakat terhadap sektor perkebunan yang menjanjikan keuntungan jangka pendek. Selain itu, pemerintah dan perusahaan seringkali tidak memberikan alternatif yang cukup untuk masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Banyak petani swadaya yang tidak memiliki pengetahuan atau akses terhadap praktik pertanian yang ramah lingkungan dan justru mengandalkan pembukaan lahan secara tradisional yang dapat merusak struktur tanah dan kualitas lingkungan. Akibatnya, lahan yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kekayaan flora dan fauna berubah menjadi perkebunan sawit yang tidak hanya mengancam keberlanjutan ekosistem lokal, tetapi juga memperburuk kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi yang dapat memberikan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dengan keberlanjutan lingkungan. Salah satunya adalah dengan mendorong petani sawit swadaya untuk beralih pada pola pertanian yang lebih ramah lingkungan, seperti agroforestry atau perkebunan sawit yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan. Selain itu, penting untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan penyuluhan terkait praktik pertanian yang tidak merusak lingkungan serta memberikan insentif bagi mereka yang berhasil mengelola lahan secara berkelanjutan. Upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta perlu diwujudkan untuk menjaga keberlangsungan tembawang, rimba, dan gupung di Gurung Mali, sekaligus memberikan kesejahteraan bagi petani lokal.

 

Konversi lahan menjadi perkebunan sawit swadaya di Gurung Mali memberikan dampak signifikan terhadap keberlanjutan ekosistem tembawang, rimba, dan gupung. Tembawang, sebagai kawasan hutan adat yang dikelola oleh masyarakat, berfungsi untuk mendukung kebutuhan hidup sehari-hari seperti sumber daya alam, kayu, dan hasil hutan lainnya. Namun, dengan adanya konversi lahan menjadi perkebunan sawit, kawasan hutan adat ini berisiko hilang atau terfragmentasi. Proses pembukaan lahan sawit, yang seringkali dilakukan dengan cara pembakaran atau penebangan, tidak hanya menghilangkan vegetasi lokal tetapi juga mengancam habitat berbagai spesies yang hidup di dalamnya. Akibatnya, keanekaragaman hayati yang ada di rimba dan gupung—termasuk flora dan fauna yang langka—terancam punah.

 

Selain itu, konversi lahan ini berpotensi menurunkan kualitas tanah dan air. Pembukaan lahan sawit yang tidak terkelola dengan baik dapat menyebabkan erosi, menurunnya kesuburan tanah, serta penurunan kapasitas lahan dalam menyerap air. Hal ini dapat berdampak pada berkurangnya keberlanjutan sumber daya air di sekitar kawasan tersebut, yang pada gilirannya mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.

 

Fenomena peningkatan jumlah petani sawit swadaya di desa-desa sekitar Gurung Mali dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Salah satu faktor utama adalah tekanan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Banyak petani yang merasa bahwa beralih ke perkebunan sawit dapat memberikan keuntungan finansial yang lebih besar dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan sektor pertanian tradisional seperti pertanian padi atau hortikultura. Kenaikan harga minyak sawit di pasar global juga semakin memotivasi masyarakat untuk membuka lahan mereka menjadi perkebunan sawit.

 

Selain itu, kurangnya pemahaman tentang dampak jangka panjang dari industri sawit terhadap lingkungan membuat banyak petani merasa bahwa perubahan ini merupakan pilihan yang wajar dan menguntungkan. Kurangnya akses terhadap informasi mengenai praktik pertanian berkelanjutan juga menjadi faktor yang memperparah fenomena ini. Di beberapa desa, ketergantungan terhadap industri sawit semakin meningkat karena tidak adanya alternatif pekerjaan lain yang menjanjikan. Pada akhirnya, pola pikir ekonomi jangka pendek mengalahkan pertimbangan keberlanjutan lingkungan.

 

Meskipun banyak petani sawit swadaya yang menyadari pentingnya pengelolaan lahan yang berkelanjutan, mereka sering menghadapi sejumlah kendala. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan pengetahuan dan teknologi yang tersedia untuk menerapkan praktik pertanian ramah lingkungan. Banyak petani sawit swadaya yang masih menggunakan metode tradisional dalam mengelola lahan mereka, yang seringkali merusak ekosistem. Pembukaan lahan dengan cara yang tidak tepat, seperti pembakaran, tidak hanya mencemari lingkungan tetapi juga memperburuk perubahan iklim.

 

Selain itu, keterbatasan akses terhadap pembiayaan dan sumber daya untuk memperbaiki praktik pertanian juga menjadi hambatan besar. Banyak petani tidak memiliki modal untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan atau untuk memperbaiki infrastruktur perkebunan mereka agar sesuai dengan standar keberlanjutan. Tidak adanya dukungan dari perusahaan perkebunan atau pemerintah juga memperburuk situasi, karena sebagian besar petani sawit swadaya beroperasi secara individu tanpa adanya bimbingan yang memadai.

 

Mengurangi dampak negatif industri sawit terhadap tembang, rimba, dan gupung di Gurung Mali memerlukan pendekatan yang holistik dan berbasis pada keberlanjutan. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan kesadaran petani sawit swadaya mengenai pentingnya keberlanjutan lingkungan dan manfaat jangka panjang dari praktik pertanian ramah lingkungan. Penyuluhan dan pelatihan tentang teknik agroforestry, pengelolaan lahan yang efisien, serta penggunaan teknologi pertanian yang lebih ramah lingkungan perlu digalakkan.

 

Selain itu, penting untuk menciptakan kemitraan antara petani swadaya, perusahaan sawit, dan pemerintah untuk membangun sistem sertifikasi yang menjamin keberlanjutan dalam industri sawit. Program yang memberikan insentif kepada petani yang beralih ke praktik pertanian berkelanjutan juga dapat membantu mendorong perubahan. Penerapan prinsip-prinsip ekonomi hijau, seperti pengelolaan sumber daya alam yang efisien dan ramah lingkungan, dapat menjadi solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak: petani dan lingkungan.

 

Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri sawit dan perlindungan terhadap ekosistem alami. Kebijakan yang mendorong penggunaan lahan secara berkelanjutan, serta memberikan insentif bagi petani yang mengadopsi praktik ramah lingkungan, sangat diperlukan. Pemerintah juga harus memperketat pengawasan terhadap ekspansi perkebunan sawit agar tidak merusak lahan yang seharusnya dilindungi, seperti tembang, rimba, dan gupung.

Sektor swasta, terutama perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam industri sawit, juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa praktik mereka memenuhi standar keberlanjutan. Hal ini termasuk memastikan bahwa perkebunan sawit yang mereka kelola tidak membuka lahan di kawasan hutan yang dilindungi dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat serta keberlanjutan ekosistem. Masyarakat, di sisi lain, harus lebih aktif dalam mengawasi kegiatan perkebunan sawit di wilayah mereka dan mendukung inisiatif yang mendorong pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Kolaborasi antara ketiga pihak ini akan sangat penting dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan kelestarian lingkungan di Gurung Mali.

 

#lokalberdaya #inisiativeimpact #solidaritaslokal

 

Penulis: Aldo Topan Rivaldi