
“Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektar hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air”. Lebih jauh Menhut memperkirakan ada potensi sekitar 1,1 juta hektar lahan yang bisa menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun. Jumlah tersebut menurutnya setara dengan total impor beras Indonesia pada tahun 2023. Selain itu, pemerintah juga berencana menanam pohon aren sebagai sumber bioetanol. “Satu hektar aren mampu menghasilkan 24 ribu kiloliter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta hektar aren, kita bisa menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol, yang dapat menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter,” katanya. (dikutip dari www.cnnindonesia.com)
“Banyak negara itu terlalu berharap dengan kita, terutama mereka sangat membutuhkan kelapa sawit kita, ternyata kelapa sawit jadi bahan strategis rupanya. Banyak negara itu takut tidak dapat kelapa sawit. Jadi bayangkan, jadi jagalah para Bupati, Gubernur para pejabat Tentara, Polisi, jagalah kebun-kebun kelapa sawit kita ya, dimana-mana itu asset negara. Dan saya kira kedepan kita juga harus tambah tanam kelapa sawit, gak usah takut apa itu? katanya apa? Membahayakan, apa itu? Deforestation, ya kan. Namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan, kelapa sawit itu pohon. Ada daunnya kan? dia menyerap karbon. Darimana kok kita dituduh, yang mboten-mboten aja itu.” (dikutip dari youtube kompas.com)
Kutipan pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni tentang pemanfaatan 20 juta hektar hutan untuk cadangan pangan, energi, dan air, serta pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai pentingnya kelapa sawit sebagai aset strategis nasional diatas telah memicu perdebatan luas. Meskipun tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran serius dari banyak pihak, baik dari segi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Bagi kalangan industri/dunia usaha, wacana ini menjadi peluang investasi besar dan mungkin dianggap sebagai langkah progresif dalam mengurangi ketergantungan impor pangan dan energi. Akan tetapi bagi para aktivis lingkungan, ini adalah ancaman serius terhadap keberlanjutan ekosistem dan kredibilitas komitmen iklim Indonesia, yang berpotensi menciptakan dampak lingkungan yang belum bisa diukur.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah kontradiksi antara wacana ini dengan pernyataan Presiden Prabowo di forum G20 di Rio de Janeiro pada November 2024 yang lalu, atau kurang lebih sebulan sebelum pernyataan diatas dikeluarkan. Saat itu, Presiden menegaskan bahwa Indonesia optimis mampu mencapai target nol emisi sebelum tahun 2050, atau lebih cepat 10 tahun dari target awal yang ditetapkan pada tahun 2060. Sebagai catatan, Prabowo meletakkan landasan komitmen tersebut pada pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga surya dan geothermal. Namun, munculnya wacana pemanfaatan hutan ini justru mengindikasikan bahwa pemerintah masih mengandalkan ekspansi lahan sebagai solusi pembangunan. Konsekuensinya, jika wacana atau kebijakan ini tetap dijalankan, bukan hanya kredibilitas Indonesia di mata dunia yang dipertaruhkan, tetapi juga masa depan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal pun ikut terancam.
Pemerintah mengklaim bahwa hutan dapat digunakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan produksi bioetanol. Berdasarkan presentasi Kementrian Kehutanan 2025, proyeksi 20 juta hektar hutan tersebut diperoleh dari Kawasan Hutan belum berizin seluas 15,53 juta hektar, dan Kawasan Hutan yang sudah berizin seluas 5,07 juta hektar. Rinciannya, dari Kawasan Hutan belum berizin, dialokasikan dari Kawasan Hutan Lindung seluas 2,29 juta hektar, dan dari Kawasan Hutan Produksi seluas 13,24 juta hektar. Sementara dari Kawasan Hutan yang sudah berizin, dialokasikan dari potensi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) tidak aktif seluas 3,17 juta hektar, serta dari skema persetujuan Perhutanan Sosial (PS) seluas 1,9 juta hektar. Namun, yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah, apakah ini solusi yang sudah benar-benar berkelanjutan?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lahan pertanian di Indonesia terus menyusut akibat alih fungsi lahan. Dalam kurun waktu 2013 – 2023, luas lahan baku sawah berkurang dari 8,1 juta hektar menjadi sekitar 7,4 juta hektar. Jika tren ini terus berlanjut, maka ketahanan pangan jelas akan semakin terancam. Dengan kondisi demikian, pemerintah seharusnya lebih fokus pada optimalisasi lahan pertanian yang sudah ada dan meningkatkan efisiensi produksi pangan. Optimalisasi tersebut bisa dilakukan dengan menyasar intensifikasi pertanian melalui penggunaan teknologi modern, penerapan sistem pertanian berkelanjutan, serta perbaikan infrastruktur irigasi dan distribusi hasil panen. Sebagai contoh, data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem pertanian presisi, efisiensi hasil panen dapat meningkat hingga 30% tanpa perlu melakukan ekspansi lahan. Data serupa dari hasil studi International Rice Research Institute (IRRI), juga menunjukkan bahwa dengan melakukan efisiensi terhadap pengelolaan dan inovasi teknologi, produktivitas pertanian dapat ditingkatkan tanpa harus membuka lahan baru secara besar-besaran.
Peningkatan ketahanan pangan seharusnya tidak mengorbankan ekosistem hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki peran penting dalam keseimbangan iklim. Lahan kritis seluas 14 juta hektar (KLHK 2018 – proyeksi Kemenko Marinves, meningkat menjadi 19 juta hektar pada tahun 2024) yang telah terdegradasi di Indonesia, seharusnya bisa direstorasi dan dimanfaatkan untuk pertanian tanpa harus memanfaatkan Kawasan Hutan. Lebih parahnya lagi, jika konversi hutan dilakukan secara masif untuk pertanian monokultur (seperti sawit), risiko hilangnya spesies langka dan meningkatnya emisi karbon akan semakin besar, sebagaimana diperingatkan dalam studi World Resources Institute (WRI). Oleh karena itu, kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan harus lebih diutamakan, dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan yang sudah ada, serta menghindari dampak negatif dari deforestasi yang tidak terkendali.
Di sektor energi, pemerintah menargetkan produksi 24 juta kiloliter bioetanol dari pohon aren, yang diklaim lebih berkelanjutan dibandingkan kelapa sawit. Namun, jelas bahwa skema ini perlu dikaji lebih dalam dengan mempertimbangkan pengalaman buruk Indonesia dalam ekspansi industri kelapa sawit yang sering kali menyisakan banyak persoalan yang terkait dengan deforestasi, konflik lahan, dan degradasi lingkungan. Meskipun pohon aren memiliki keunggulan karena dapat tumbuh di lahan marginal, produksi bioetanol skala besar tetap membutuhkan lahan yang luas, yang pada akhirnya berisiko memicu ekspansi ke ekosistem hutan. Selain itu, biaya produksi dan infrastruktur pendukung seperti kilang bioetanol serta sistem distribusi belum sepenuhnya siap. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa saat ini Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar sebesar 30%. Kementrian ESDM menyebutkan bahwa, hingga saat ini, kapasitas produksi bioetanol di Indonesia masih jauh di bawah target. Ini berarti bahwa, transisi energi ke bioetanol harus didukung oleh strategi yang benar-benar matang dan mempertimbangkan dengan cermat aspek keberlanjutan ekosistem, yang masih harus dibarengi dengan investasi besar pada infrastruktur pendukungnya, serta kajian terhadap aspek lingkungan yang komprehensif.
Sementara, jika mengacu pada hasil penelitian dari International Energy Agency (IEA), produksi bioetanol dalam skala besar juga memiliki dampak lingkungan yang tidak kecil, terutama terkait dengan konsumsi air dan energi dalam proses produksinya. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol dari aren, dibutuhkan sekitar 2.000 liter air, sehingga jika produksi ditargetkan mencapai 24 juta kiloliter, konsumsi air yang dibutuhkan akan sangat besar dan dapat berisiko memperburuk krisis air yang mulai mengancam di berbagai wilayah saat ini. Selain itu, data dari Global Bioenergy Partnership (GBEP) menunjukkan bahwa negara-negara seperti Brasil dan Amerika Serikat yang telah lebih dulu mengembangkan bioetanol juga menghadapi masalah besar terkait konversi lahan pertanian menjadi perkebunan untuk bahan baku biofuel, yang pada akhirnya justru mengancam ketahanan pangan itu sendiri. Sehingga, jika tidak diatur dengan cermat, Indonesia bisa mengalami trade-off yang serupa, di mana peningkatan produksi bioetanol justru berujung pada berkurangnya lahan pangan yang lebih mendesak bagi kebutuhan domestik.
Jika yang terjadi kemudian justru adalah angka deforestasi yang melonjak secara drastis, maka bisa dipastikan kita harus bersiap untuk dihadapkan pada dampak sosial dan ekologis yang berskala luas pula. Sebab, rencana pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan hutan seluas 20 juta hektar sebagai cadangan pangan, energi, dan air ini disinyalir cenderung berpotensi memperparah konflik agraria yang sudah terjadi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa proyek-proyek skala besar semacam ini sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan adat, sehingga pembukaan hutan dalam skala masif ini juga akan meningkatkan resiko terhadap peningkatan jumlah penggusuran dan ketimpangan akses masyarakat terhadap lahan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), misalnya, mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 saja telah terjadi lebih dari 200 konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia, yang sebagian besar terkait dengan penggusuran masyarakat akibat proyek strategis nasional, termasuk ekspansi perkebunan dan pertambangan. Sementara, studi dari Human Rights Watch (HRW), menunjukkan bahwa banyak proyek ekspansi lahan di Indonesia dilakukan tanpa konsultasi dan persetujuan penuh dari masyarakat lokal, yang menyebabkan ketegangan sosial serta marjinalisasi terhadap komunitas adat.
Data lainnya dari Forest Watch Indonesia (FWI), menunjukkan bahwa selama periode 2000 – 2020, Indonesia telah kehilangan lebih dari 23 juta hektar hutan, yang berkontribusi terhadap berkurangnya sumber daya alam sebagai penopang utama kehidupan masyarakat adat. Wacana terkait perluasan perkebunan sawit yang menjadi bagian dari strategi ekspansi ekonomi dan penguatan biofuel sebagai alternatif energi terbarukan oleh pemerintah ini, disinyalir justru hanya akan memperburuk situasi tersebut. Skema perluasan ini pada akhirnya justru akan meningkatkan ancaman terhadap kelangsungan hidup komunitas masyarakat adat, sebab mereka sering kali tidak memiliki hak hukum atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Bahkan, dalam banyak kasus, mereka terpaksa kehilangan akses terhadap tanah mereka sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian yang tidak adil dengan perusahaan-perusahaan perkebunan.
Hilangnya hutan dalam skala besar, jelas akan mengganggu bahkan merusak ekosistem yang idealnya menjadi penopang terhadap ketahanan pangan, energi, dan air itu sendiri. Konversi hutan menjadi lahan perkebunan atau untuk pengembangan proyek infrastruktur pendukung yang diperlukan guna merealisasikan wacana tersebut, justru akan berimplikasi pada degradasi lingkungan yang bertentangan dengan tujuan awal pemerintah. Hilangnya hutan akan berdampak pada berkurangnya kapasitas tanah dalam menyimpan air, memperparah kekeringan, serta meningkatkan risiko banjir dan erosi yang pada akhirnya dapat pula merusak infrastruktur pertanian. Di sisi lainnya, meningkatnya emisi karbon sebagai akibat dari deforestasi yang terjadi dalam skala besar, secara terang benderang tentu akan berdampak pada semakin memburuknya dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya meninjau kembali wacana dan kebijakan yang terkait dengan pemanfaatan hutan untuk cadangan pangan dan energi, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Sebagai solusi, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pengembangan ekonomi yang berbasis pada keberlanjutan, yang memastikan akses dan keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta mendorong penelitian dan pengembangan energi terbarukan yang tidak hanya mengandalkan kelapa sawit dan aren sebagai bahan baku. Perubahan paradigma dalam pengelolaan sumber daya alam mutlak diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan sektor industri, tetapi juga memastikan kelestarian alam dan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh dapat terpenuhi. Selain itu, pemerintah juga harus mampu menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengatasi trauma masa lalu dari berbagai proyek skala besar sebelumnya yang identik dengan korupsi, pengelolaan yang buruk, serta dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Ditengah serba tidak pastinya dinamika geopolitik global saat ini, memang tidak salah jika menempatkan ketahanan pangan dan energi sebagai salah satu prioritas nasional. Akan tetapi, untuk mencapainya, bukan berarti harus mengorbankan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Solusi berkelanjutan bukan hanya menyoal bagaimana mencukupi kebutuhan hari ini, namun juga harus memastikan bahwa generasi mendatang masih bisa menikmati kekayaan alam yang sama sebagaimana yang kita miliki sekarang ini. Sebab, faktanya ketahanan pangan dan energi tidak semata-mata bergantung pada perluasan lahan, tetapi juga pada efektivitas tata kelola, teknologi, dan inovasi dalam pemanfaatan sumber daya yang ada. Penguatan terhadap regulasi mengenai perhutanan sosial, hak-hak masyarakat adat, agroforestry, dan lainnya, idealnya bisa menjembatani antara kepentingan ekonomi dengan kelestarian lingkungan, terutama dalam kaitannya guna menegaskan komitmen pemerintah terhadap tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan. Sebab jika tidak, bisa dipastikan bahwa kita hanya akan terjebak dalam paradoks kebijakan; berbicara tentang komitmen dan strategi nol emisi di kancah internasional, akan tetapi pada saat yang sama, justru meningkatkan dan mempercepat deforestasi di dalam negeri sendiri.
#localberdaya #inisiativeimpact #solidaritaslokal
Penulis: Singlum