Grup musik Sukatani asal Purbalingga membuat pemerintah, kebakaran jenggot. Lagunya yang berjudul Bayar, bayar, bayar, dianggap merusak nama baik institusi Polri dan tentu saja menurunkan wibawa penguasa. Personil grup musik itupun didatangi polisi.

Saya terus mengikutinya, sembari berjaga-jaga dengan pilihan sikap, baha jika aparat polisi menekan dan mengintimidasi para seniman itu, maka saya akan berpihak dengan Sukatani. Habis-habisan! SUKATANI VS POLISI. Rame! Hahaa.

Mengapa saya bersikap seperti itu? Karena syair dalam lagu 3B itu sangat cerdas. Dan kita harus berpihak pada manusia-manusia cerdas seperti ini.

Kecerdasannya tampak dari kemampuannya menangkap fenomena sosial, yaitu tentang maraknya oknum polisi yang menjadikan rakyat sebagai objek ekonomi. Fenomena ini sebenarnya terjadi merata di tanah nusantara dengan luas 2 juta kilometer persegi ini. Nah, fenomena buruk itu mampu ditangkap oleh personil Sukatani lalu diproses hingga menjadi syair dan lagu.

Sementara, selama berpuluh tahun, fenomena penyimpangan perilaku oknum polisi itu tak mampu ditangkap oleh elemen masyarakat dengan level pendidikan super tinggi sekalipun. Bahkan tak juga mampu disadari oleh pihak-pihak yang paling berkuasa sekalipun.

Makanya, bagi saya Seniman Sukatani ini bukan manusia biasa. Mereka cerdas, mereka istimewa, mereka aset bangsa dan negara therrrcinttah!.

Kecerdasan lain dari seniman Sukatani juga tampak dari kemampuan mereka  dalam memilih kata. Misal, seandainya saja mereka tidak menggunakan kata “polisi” dalam syair lagi itu, tetapi memilih kata “polri”, dampaknya akan menjadi lain. Habis sudah nasib para seniman itu dalam serial intimidasi hukum. Mengapa? Karena kedua kata itu mengandung konsekuensi hukum yang berbeda. Polisi adalah profesi yang maknanya sama dengan istilah politisi,  pengusaha, atau pelajar, sementara Polri adalah institusi.

Maksudnya, kita kan terbiasa memaki-maki politisi. Bukankah tidak ada persoalan? Karena kata itu hanya menunjuk profesi dan profesi

Politisi itu ada di seluruh negara, tak hanya di indonesia aja.

Beda halnya jika kita memaki-maki institusi partai-nya. Mereka punya hak yang dijamin oleh undang-undang untuk mempersoalkan kita secara hukum. Nah, cerdaskan?

Maka sikap Polri terhadap Sukatani tani berujung antiklimaks dengan statement “POLRI tidak anti kritik kok!”

Kenapa muncul statemen itu? Ya karena syairnya tidak mengandung celah pelanggaran hukum.

Bahwa institusi polri merasa tidak nyaman atau merasa tersinggung dengan syair-syair lagu 3B dari Sukatani, itu urusan lain.

Yang terakhir, saya ingin mengingatkan bahwa syair lagu 3B dari Sukatani adalah syair-syair tanda bahaya. Artinya, ketika seniman, yang tak pernah punya kepentingan atas jabatan politik telah memproduksi kata-kata yang bernuansa “politisi” maka itu berarti elemen masyarakat formal yang diamanahi rakyat untuk mengurus republik ini, telah gagal melaksanakan tugasnya.  Karena gagal, maka tugas itu secara natural diambil alih oleh para seniman. Caranya dengan memproduksi frase cerdas yang digabung dengan melodi. Dengan seperti ini, maka pesan yang akan disampaikan untuk akan terjadi secara massif, cepat dan berdampak permanen dalam ingatan publik.

Sederhananya, lagu 3B yang diproduksi oleh para seniman ini akan terus dan terus dinyanyikan oleh masyarakat dalam berbagai event, dan berbagai saluran, sehingga akan terus didengar dan mengguncang-guncang jantung para petinggi negeri ini.

Sampai kapan?

Sampai…

Mau bikin SIM ga bayar polisi lagi

Ketilang di jalan ga  bayar polisi lagi

Touring motor gede ga bayar polisi lagi

Angkot mau ngetem ga bayar polisi

lagi… dst.

Hafalin lagunya ya!

Penulis: Beni S, jogja, 22.2.25

 

Baca Juga Fenomena #KaburAjaDulu Bentuk Kekecewaan Generasi Muda