Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping awal September 2025 turut membahas rencana pembangunan tanggul laut raksasa di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Jawa. Pemerintah Indonesia menjadikan mega proyek Giant Sea Wall Pantura Jawa ini sebagai program unggulan untuk mengatasi banjir rob dan dampak perubahan iklim serta melindungi ekosistem pesisir. Sepertinya proyek strategis nasional ini tidak lagi sebatas wacana: sejak diusulkan pertama kali pada 1995, kini Presiden Prabowo menegaskan pembangunan akan segera dimulai tanpa penundaan lebih lanjut.

Tentang Proyek Tanggul Raksasa Pantura

Tanggul raksasa Pantura direncanakan membentang sekitar 500 km dari Banten hingga Gresik di Jawa Timur, dengan estimasi biaya mencapai US$80 miliar (sekitar Rp1,3 kuadriliun) dan masa konstruksi 15–20 tahun[1] Pembangunan akan diprioritaskan pada kawasan paling rawan, yakni Jakarta dan Semarang, yang selama ini terdampak rob, penurunan muka tanah (amblesan), dan kenaikan muka air laut. Sebagai bentuk keseriusan, pemerintah telah membentuk Badan Otorita Pantura dan melantik kepalanya untuk memimpin megaproyek ini[2]. Pendanaan juga dijajaki melalui skema investasi asing: proyek ini ditawarkan kepada Tiongkok dan negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, hingga negara-negara Eropa.

Tujuan utama tanggul laut ini adalah melindungi jutaan penduduk dan infrastruktur di pesisir utara Jawa dari ancaman banjir rob dan krisis iklim di masa depan. Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Pantura Jawa merupakan kawasan vital dengan lima pusat pertumbuhan, puluhan kawasan industri dan ekonomi khusus yang kerap terganggu banjir pasang[3]. Tanggul raksasa dipandang sebagai solusi cepat agar kawasan ekonomi tersebut aman dan aktivitas bisa terus berjalan. Singkatnya, proyek ini adalah upaya rekayasa teknis berskala masif untuk mempertahankan garis pantai dan melindungi kota-kota besar Pantura dari laut yang kian naik.

[1] Proyek Tanggul Laut Raksasa Pantura Dimulai, Ini Kata Presiden Prabowo https://www.aspirasiku.id/nasional/10915338669/proyek-tanggul-laut-raksasa-pantura-dimulai-ini-kata-presiden-prabowo

[2] Proyek Tanggul Laut Pantura Rp 1,28 Kuadriliun Dinilai Akan Rusak Lingkungan Pulau Jawa https://lintasan.id/news/3831/proyek-tanggul-laut-pantura-rp-128-kuadriliun-dinilai-akan-rusak-lingkungan-pulau-jawa

[3] https://koral.info/id/tanggul-laut-raksasa-bukan-solusi-tepat-atasi-krisis-iklim-serta-percepat-kebangkrutan-ekologis-daratan-dan-perairan-pulau-jawa

Ancaman Krisis Ekologis di Balik Tanggul

Di balik rencana ambisius tersebut, berbagai kalangan mengingatkan potensi krisis ekologis yang dapat ditimbulkan. Koalisi masyarakat sipil Maleh Dadi Segoro (MDS) menilai pemerintah keliru mendiagnosis persoalan. Mereka berargumen bahwa akar masalah rob dan tenggelamnya pesisir Jawa adalah amblesan tanah akibat eksploitasi air tanah dan beban infrastruktur berlebih, bukan semata air laut[4]. Pembangunan tanggul justru dianggap akan memperparah amblesan tanah karena mendorong konsentrasi pembangunan dan aktivitas ekonomi di Pantura yang membutuhkan banyak air. Kebutuhan air rumah tangga dan industri di wilayah ini selama ini dipenuhi dengan ekstraksi air tanah dalam, sehingga jika kota-kota pesisir makin tumbuh di balik tanggul, penyedotan air tanah akan kian masif dan tanah makin turun. Alih-alih fokus pada solusi struktural seperti pembatasan ekstraksi air tanah, orientasi pemerintah membangun tanggul dinilai mengalihkan perhatian dari upaya mengurangi laju amblesan itu sendiri.

Selain persoalan tanah turun, dampak ekologis langsung dari tembok raksasa pantai ini juga menjadi sorotan. Perubahan arus dan gelombang laut akibat struktur tanggul berisiko memicu abrasi pantai dan mengancam ekosistem pesisir. Pengalaman pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak menunjukkan bahwa tanggul melindungi kawasan industri besar, namun merugikan perkampungan nelayan di sekitarnya yang kian tergerus abrasi. Tanggul raksasa cenderung mengurangi banjir di daratan urban, tetapi sebaliknya merusak ekosistem pesisir dan meminggirkan komunitas pesisir. Koalisi MDS mencatat bahwa tembok laut semacam ini akan menutup ruang tangkap ikan nelayan tradisional, mematikan hutan mangrove dan habitat pesisir, serta bisa menjebak air banjir di belakang tanggul hingga memperparah genangan di darat. Kasus banjir rob yang terperangkap di Kampung Tambak Lorok, Semarang pasca dibangunnya tanggul setempat menjadi contoh kekhawatiran tersebut. Dengan kata lain, tanggul melindungi wilayah perkotaan tapi memindahkan risiko ke tempat lain dan menciptakan ketimpangan geografis baru antara kawasan di balik tanggul versus wilayah di luarnya.

Para pegiat lingkungan juga menyoroti ancaman terhadap keanekaragaman hayati laut. WALHI memperingatkan bahwa dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul raksasa ini dapat mempercepat laju kepunahan spesies di perairan utara Jawa. Pasalnya, proyek ini membutuhkan material dalam jumlah kolosal: diperkirakan diperlukan miliaran kubik pasir untuk mereklamasi laut dan membangun tanggul sepanjang ratusan kilometer. Pengerukan pasir laut skala masif tersebut akan menghancurkan habitat dasar laut dan biota pesisir. Contohnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah mengestimasi kebutuhan pasir untuk reklamasi Teluk Jakarta saja mencapai 388 juta m³, bayangan akan kebutuhan pasir untuk tanggul se-Pantura tentu jauh lebih besar.

Kerusakan ekosistem pesisir yang sudah rentan dapat makin parah: ikan-ikan lokal terancam dan populasi mangrove yang menjadi penahan alami abrasi bisa hancur. Belum lama ini, spesies ikan pari Jawa (Urolophus javanicus) yang hidup di perairan Teluk Jakarta dinyatakan punah oleh IUCN, dengan penyebab termasuk rusaknya habitat pesisir akibat aktivitas industri (koral.info). Para ahli khawatir proyek tanggul akan memperburuk keadaan tersebut dan mengancam stok ikan yang menjadi sumber protein penting bagi masyarakat pesisir. Data KKP menunjukkan perikanan di Jawa utara sudah mengalami krisis: 67% sumber daya ikan telah fully exploited dan 22% over exploited[5]. Alih-alih memberi ruang pemulihan, menutup laut dengan tanggul justru bisa mempercepat kolaps ekologis di laut Jawa.

Kritik lain menyasar aspek ekonomi dan sosial proyek raksasa ini. Parid Ridwanuddin, peneliti kelautan dari Auriga Nusantara, menilai masyarakat pesisir Pantura sejatinya tidak membutuhkan tembok laut tersebut, apalagi dengan biaya yang luar biasa besar. Ia berpendapat anggaran sekitar Rp1.300 triliun lebih baik dialokasikan untuk kebutuhan publik yang mendesak, misalnya meningkatkan kesejahteraan guru, membangun sekolah di daerah terpencil, hingga pemenuhan layanan kesehatan. Parid juga menyerukan evaluasi menyeluruh tata ruang Jawa sebelum proyek ini dijalankan: selama ini pesisir utara Jawa telah dipadati industri besar, menyisakan ruang sangat sempit bagi masyarakat lokal dan alam, terbukti dari hutan alam di Jawa yang tersisa kurang dari 9%[6]. Tanpa perubahan kebijakan, tanggul raksasa hanya akan menjadi solusi semu yang menambah beban eksploitasi baru di pulau yang daya dukung ekologisnya sudah kritis. Koalisi MDS sependapat bahwa solusi sesungguhnya adalah langkah berani menghentikan eksploitasi berlebihan di Pantura.

[4] https://www.walhijateng.org/2024/01/17/tanggul-laut-raksasa-melipatgandakan-krisis-sosial-ekologis-pantura-jawa

[5] Tanggul Laut Raksasa, Solusi Palsu Krisis Iklim serta Percepat Kebangkrutan Ekologis Daratan dan Perairan Pulau Jawa https://www.walhi.or.id/tanggul-laut-raksasa-solusi-palsu-krisis-iklim-serta-percepat-kebangkrutan-ekologis-daratan-dan-perairan-pulau-jawa

[6] https://lintasan.id/news/3831/proyek-tanggul-laut-pantura-rp-128-kuadriliun-dinilai-akan-rusak-lingkungan-pulau-jawa

Kritik Ekologis

Dari sudut pandang ekologi radikal, kontroversi tanggul laut ini mencerminkan dilema mendasar dalam relasi manusia dan alam. Para pemikir ekologi radikal menantang cara pandang antroposentris (manusia-sebagai-pusat) yang kerap mendasari megaproyek teknokratik seperti ini. Sementara pendekatan pemerintah terfokus pada penyelamatan kawasan industri dan kota (kepentingan manusia), pendekatan ekosentris justru bertanya: bagaimana nasib alam? Alasan pemerintah yang ingin melindungi “kawasan pertumbuhan ekonomi” di Pantura menunjukkan dominannya perspektif antroposentris – lingkungan dianggap penting sejauh menunjang aktivitas ekonomi manusia. Konsep Deep Ecology dari Arne Næss, misalnya, mengajak manusia untuk melakukan perubahan mendasar dalam cara pandang terhadap lingkungan. Deep Ecology menekankan bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam dan harus menghargai nilai intrinsik seluruh makhluk hidup, bukan sekadar mengeksploitasi alam demi keuntungan manusia. Dilihat dari prinsip ini, rencana membendung lautan dengan dinding raksasa demi melestarikan gaya hidup perkotaan bisa dianggap bertentangan dengan etika ekosentris Deep Ecology yang mengedepankan koeksistensi daripada dominasi.

Pemikiran ekologi sosial yang dipelopori Murray Bookchin menyoroti bahwa krisis lingkungan berakar dari tatanan sosial ekonomi yang eksploitatif. Bookchin berargumen bahwa dominasi manusia atas alam bersumber dari dominasi manusia atas sesamanya.

Artinya, selama pola relasi sosial yang timpang dan rakus (misal: industrialisasi tanpa kendali, kapitalisme yang memburu keuntungan tanpa memperhitungkan alam) masih berlangsung, upaya teknis semata tak akan menyelesaikan masalah. Kritik ini relevan dengan situasi Pantura: kerusakan ekologis Jawa tak lepas dari sejarah panjang eksploitasi sumber daya alam sejak era kolonial hingga sekarang. Pulau Jawa telah dijadikan pusat industri ekstraktif; izin-izin tambang, pabrik, dan proyek raksasa menjejali pesisir utara, menyebabkan daya dukung ekologisnya nyaris runtuh.

Walhi menyebut pembangunan tanggul laut raksasa sebagai “sesat pikir” pembangunan yang gagal menjawab akar persoalan kehancuran ekologis Pulau Jawa. Solusi seperti ini hanya memperluas pola dominasi lama (manusia menguasai alam dengan teknologi) ke wilayah baru, alih-alih menghentikan praktik eksploitatif yang menjadi sumber masalah. Pandangan Bookchin dan Walhi sama-sama menegaskan: perlu perubahan struktural, hentikan perusakan alam oleh kekuatan ekonomi besar, bukan sekadar membangun tembok yang menahan gejala kerusakan sementara sumber kerusakan dibiarkan.

Lebih jauh, kritik ekologis juga mempertanyakan gaya hidup perkotaan yang ingin dipertahankan oleh proyek tanggul. Tanggul raksasa dirancang agar kota-kota pesisir bisa terus hidup nyaman seperti biasa, terlindung dari air laut. Namun gaya hidup urban inilah yang sering kali paling boros sumber daya dan tidak berkelanjutan. Kota-kota besar di pantai utara telah tumbuh dengan menyedot air tanah, mengubah lahan hijau menjadi beton, dan membuang limbah ke laut, yang semuanya demi menunjang aktivitas industri dan konsumsi tinggi. Proyek tanggul berisiko melanggengkan pola hidup konsumtif ini dengan cara artificial: bukannya mengurangi haus air dan lahan dari kota, kota justru dibentengi agar bisa terus ekspansi.

Tanggul berpotensi menciptakan kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan, pembangunan akan makin terkonsentrasi di kota-kota besar sementara lingkungan di pinggiran dikorbankan. Data menunjukkan sebagian besar ruang Pantura sudah didominasi kepentingan industri, menyisakan sedikit ruang bagi alam maupun permukiman tradisional[7]. Dalam kacamata ekologi radikal, ini adalah jalan buntu: kita tidak bisa menyelesaikan krisis ekologis dengan terus memfasilitasi pola produksi-konsumsi perkotaan yang berlebihan. Perubahan yang dibutuhkan bukan sekadar membangun dinding perlindungan, melainkan berani mengurangi eksploitasi alam, menata ulang tata ruang, dan beralih ke cara hidup yang selaras dengan alam.

Sebagai alternatif, konsep-konsep ekologis progresif sering menekankan solusi berbasis alam dan pemberdayaan komunitas lokal daripada megaproyek terpusat. Alih-alih mengandalkan tanggul beton, pendekatan restoratif seperti rehabilitasi mangrove dan penataan air diyakini lebih sustainable. Di pesisir Semarang, misalnya, warga di Mangunharjo sejak awal 2000-an menanam mangrove hingga terbentuk hutan seluas 75 hektar. Hasilnya nyata: wilayah itu kini bebas dari rob, garis pantai maju (muncul daratan baru), dan ekosistem pesisir pulih sehingga nelayan mudah mendapat ikan (walhijateng.org). Benteng alami seperti mangrove tidak hanya menahan abrasi dan naiknya air laut, tetapi juga menyerap karbon serta menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati. Pendekatan nature-based solutions semacam ini sejalan dengan filosofi ekologi yang memandang manusia sebaiknya berdamai dengan alam, bukan terus-menerus bertempur melawan alam dengan teknologi mahal. Memang benar, penanaman mangrove saja tidak cukup mengatasi seluruh masalah rob di Pantura. Namun, kombinasi solusi ekologis, seperti pengendalian ekstraksi air tanah, pemulihan lahan basah, penghijauan pesisir, dan pengurangan emisi, menawarkan jalan keluar yang lebih holistik dan adil lingkungan ketimbang sekadar membangun tembok raksasa.

Ajaran agama juga menganjurkan prinsip keadilan lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab. Dalam perspektif Islam, menjaga keseimbangan alam bukan hanya perkara ekologis, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa manusia ditugaskan sebagai khalifah (wakil Tuhan) di bumi, bukan untuk merusak, tetapi untuk merawat ciptaan-Nya. Prinsip mīzān (keseimbangan) yang disebut dalam Surah Ar-Rahman menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dalam harmoni yang harus dijaga, bukan dikacaukan oleh keserakahan atau eksploitasi berlebihan. Dalam konteks proyek tanggul raksasa Pantura, ajaran agama mendorong kita untuk mengedepankan hikmah, keberlanjutan, dan keadilan antar makhluk.

[7] https://lintasan.id/news/3831/proyek-tanggul-laut-pantura-rp-128-kuadriliun-dinilai-akan-rusak-lingkungan-pulau-jawa

Penutup

Kontroversi tanggul laut raksasa Pantura Jawa pada akhirnya membuka perdebatan: apakah kita akan terus mengandalkan solusi teknokratik yang megah namun berisiko, atau mulai mendengarkan peringatan para ekolog untuk mengubah paradigma? Proyek Giant Sea Wall mungkin menjanjikan perlindungan jangka pendek bagi kota-kota pantai utara Jawa, tetapi banyak pihak khawatir ia justru mempercepat kebangkrutan sosial-ekologis pulau Jawa. Tanggul ini ibarat menahan air bah dengan tembok; jika tembok jebol atau alam rusak di sekitarnya, bencana yang lebih besar bisa terjadi. Sementara itu, akar masalah, yaitu ekspansi industri, krisis iklim akibat emisi, dan gaya hidup eksploitatif, tetap tak tersentuh. Para ahli ekologi mengingatkan bahwa kita tak bisa membangun jalan keluar dari krisis ekologis dengan beton dan baja semata. Bahkan dalam ajaran agama pun, manusia diingatkan untuk menjaga keseimbangan dan tidak membuat kerusakan di bumi. Diperlukan keberanian kolektif untuk mengurangi keserakahan, menghormati batas-batas ekosistem, dan membangun ulang hubungan kita dengan alam dengan rendah hati, bukan dengan arogansi.

Mira S. Lubis (Dosen m.k. Ekologi dan Sumberdaya Alam. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Universitas Tanjungpura)