Meletakan sudut pandang terhadap lingkungan hidup jadi langkah mendasar yang mempengaruhi eksistensi sumber daya alam yang menopang kehidupan manusia yang secara langsung juga berpengaruh pada eksistensi manusia itu sendiri oleh karena itu memahami definisi lingkungan hidup menjadi penting untuk mengkonstruksikan cara berpikir dan bertindak manusia terhadap lingkungan hidup. Lingkungan Hidup menurut UU No 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Atau lebih mudah dipahami sebagai suatu ekosistem yang didalamnya terdapat komponen Biotik (Hidup) dan Abiotik (Tak Hidup) yang saling berinteraksi satu sama lain. berbicara mengenai lingkungan hidup tentunya tidak lepas dari pengaruh lingkungan hidup itu sendiri bagi manusia sebagai “Rumah” dan sumber kehidupan. banyaknya diskusi refleksi mengenai keadaan lingkungan hidup saat ini tentunya tidak mengesampingkan persoalan Pemanasan Global yang terjadi dan tingginya pemanfaatan SDA yang tersedia. hal ini tentu mempengaruhi aspek sosiologis yang juga berdampak pada pola pikir manusia dalam melihat situasi yang terjadi. sebagian berpikir bahwa situasi yang terjadi saat ini tidak baik-baik saja sehingga diperlukan langkah mitigasi dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan meminimalisir praktik eksploitasi terhadap lingkungan (Ekosentrisme), di pihak lain menganggap situasi yang terjadi terhadap lingkungan hidup merupakan hal yang wajar dan tidak berpengaruh terhadap kepunahan sehingga pemanfaatan sumber daya alam sepatutnya dilakukan atas kepentingan umat manusia (Antroposentrisme). intinya dimana manusia meletakan etika berpikir terhadap lingkungan tentunya berpengaruh besar terhadap eksistensi lingkungan hidup itu sendiri.

Mencapai kehidupan yang lebih baik menjadi upaya perjuangan yang tidak akan pernah selesai bagi manusia. adanya Negara sebagai alat/sarana untuk mencapai kemakmuran hidup bermasyarakat tentunya memerlukan tolak ukur yang jelas di berbagai aspek mulai dari Ekonomi, Kesehatan, Pendidikan, dll yang menunjang kehidupan masyarakat itu sendiri. Indonesia memiliki Indeks Pembangunan Manusia sebagai alat ukur melihat capaian pembangunan oleh negara terhadap kualitas hidup masyarakatnya dengan tiga dimensi dasar yaitu Umur Panjang, Pengetahuan, dan Standar Hidup Layak. pengukuran IPM sendiri sejatinya belum berjalan sempurna dan konkrit dengan keadaan sebenarnya perbaikan terhadap metode pengukuran IPM terus dilakukan sejalan dengan pelaksanaan pengukuran yang juga dijalankan menghasilkan data-data aritmatik yang tidak kuat dan dapat dimanipulasi sehingga tidak memberikan informasi sebenarnya mengenai kualitas hidup masyarakat di desa maupun perkotaan. Ketidaksesuaian data juga sering terjadi lintas pemangku kebijakan sehingga tingginya disinformasi oleh aparatur negara juga mempengaruhi kepada kinerja para pemangku kebijakan itu sendiri. informasi atau data yang dikumpulkan kemudian menjadi bahan dalam merancang suatu kebijakan. tidak validnya data lapangan tentunya berpengaruh kepada tidak kontekstualnya kebijakan pembangunan yang diciptakan.

Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dengan tipikal wilayah kepulauan berkontribusi besar terhadap banyak kebijakan global dengan bergabungnya indonesia dalam berbagai forum negara-negara. yang tentunya juga berbicara banyak hal terutama lingkungan hidup dan yang paling utama tentang skema dagang terhadap Sumber Daya Alam. Naasnya, suka tidak suka indonesia belum mampu mengelola sebagian besar sumberdaya alamnya di negeri sendiri menjadi produk yang siap dipasarkan internasional, upaya memang dilakukan oleh Pemerintah mengutip pernyataan Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Jumat (25/6/21). “Salah satu program prioritas Bapak Presiden Joko Widodo, yakni transformasi ekonomi dari sumber daya alam menjadi industri bernilai tambah. Jadi, diharapkan Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor bahan mentah, tetapi produk jadi atau barang setengah jadi,” Namun tetap saja upaya hanyalah manis dibibir untuk diucapkan jika tidak dibarengi dengan pengelolaan sumberdaya alam dan peningkatan terhadap kualitas pembangunan manusianya. tingginya eksploitasi dan ketergantungan masyarakat terhadap hasil SDA seperti kayu,batubara,emas,sawit, dll jadi indikasi bahwa memang tidak ada sumber pemenuhan ekonomi lain yang dapat meminimalisir pemanfaatan lahan dan hutan sebagai sumber daya alam yang dimiliki terutama masyarakat desa dengan akses pendidikan yang sulit sehingga sulit untuk membuat suatu inovasi pengembangan roda ekonomi di daerah, infrastruktur dasar yang belum memadai yang menyulitkan akses fasilitas penunjang, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kehidupan masyarakat desa. hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh pembangunan sentralistik yang diadopsi oleh pemerintahan Indonesia sehingga berpotensi pada ketidakmerataan pembangunan terjadi di beberapa daerah seperti Papua dan Kalimantan yang mana kebijakan daerah dibuat dengan mengacu pada kebijakan pusat sehingga tidak kontekstual dengan kebutuhan di setiap daerah mengingat perbedaan sosial budaya antara pulau lain dan pulau jawa. tak heran banyak narasi yang mengatakan bahwa semua sumberdaya alam di papua maupun kalimantan hanya di keruk demi kepentingan sekelompok orang saja atau hanya kepada pemerintah pusat saja. lalu apakah kemudian dengan agenda besar pemindahan IKN bisa menjadi solusi pemerataan pembangunan? pertanyaan lain adalah bagaimana kemudian kekayaan sumber daya alam yang ada di daerah telah berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah? apakah pemerintah mampu untuk secara jujur memaparkan fakta mengenai ketimpangan yang terjadi terutama di daerah? sehingga muncul produk-produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan untuk memecahkan persoalan yang terjadi mengenai pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semata-mata untuk kepentingan masyarakat umum.

Penulis : Kokoh Riky