Curhatan Anak Pedalaman Adanya Perusahaan Antara Beruntung dan Buntung
Kardi sapaan nya, kelahiran 03 Mei 1989 di kampung Meroboi Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat, saat ini salah satu sebagai pegiat NGO Gemawan di Kalimantan Barat. Kampung Meroboi merupakan sebuah kampung yang oleh negara berada di dalam kawasan hutan, saat ini sudah menjadi pusat pemerintahan desa Meroboi.
Dulunya sekitar tahun 1990-an kampung Meroboi tertutup dari dunia luar, berada jauh dari kebisingan, tanpa alat – alat teknologi canggih (hp, motor, mobil) dan lain – lain. Kampung Meroboi saat itu masih dapat ditemui, suara- suara nyanyian burung – burung, suara owa owa dan berbagai macam suara hewan – hewan lainnya, dan saya pikir demikian juga dengan kampung – kampung lainnya. Sesuai Kolimoi dan/atau Tahtum yaitu satra suku dayak Uud Danum yang mendiami kampung Meroboi bahawa hewan – hewan juga punya kehidupan layaknya seperti kehidupan manusia.
Jalan penghubung kampung meroboi dengan kampung – kampung lainya mengandalkan sungai Lokaoi atau Lekawai dan meanggunakan jalan setapak. Ada beberapa jalan penghubung selain jalan penghubung ke kampung tetangga juga terdapat jalan penghubung ke keluarga dan kerabat yang berada di provinsi Kalimantan Tengah.
Dengan kondisi akses yang mengandalkan stransportasi sungai dan jalan setapak tersebut pada dasarnya secara tidak langsung juga mengotrol tatanan kehidupan sosial masyarakat di kampung Meroboi saat itu, dimana kearifan lokal dan kebudayaan masih kuat dan berjalan sebagaimana mesti nya. Dengan akses jalan yang ada, Ini menunjukan bahwa walaupun kehidupan jauh berada di pedalaman di tengah hutan, bukan berarti masyarakat tidak punya relasi dengan komunitas – komunitas di tempat yang berbeda di daerah lain. Nenek moyang kami (suku dayak Uud Danum) adalah orang petualang dan perantau baik dihutan belantara maupun harsus menyebrangi lautan ke negeri orang, sebut saja berdasarkan Tahtum asal usul dan perantauan nenek moyang suku dayak Uud Danum Meroboi, “….Sesampainya di Macau (China) Lambung bertemu dengan Komeluh Puhtak Bulo, serta mengabilnya sebagai istrinya. Mereka memiliki lima orang anak yaitu Sephung (ayah Bungai), Seluhphui (ayah Tambun), Nyai Etan, Nyai Rambu dan Kupang….”. Dimana diakhir penuturan bahwa Lambung beserta seluruh keluarga nya kembali ke pulau tanah Borneo.
Masuknya Perusahaan
Pada tahun 1974 mulai beroperasi di wilayah sungai Lekawai dan Sekitar, ini secara tidak langsung berdapak dan/atau mempengaruhi tatanan sosial masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.
Ini adalah Terhitung dari tahun 1974 hingga tahun 2019 kurang lebih 45 tahun PT Alas Kusuma beroperasi di wilayah kecamatan serawai secara khusus di kampung Merako dan sekitar dimana masyarakat melihat maupun terlibat langsung sebagai karyawan serta merasakan dapak secara langsung kegiatan PT tersebut. Ini salah satu dakpak positif hadirnya perusahaan dalam menyerap tenaga kerja lokal serta membuka akses jalan darat. Dengan terbukanya akses dan masuknya perusahaan secara tidak langsung membuka ruang adaptasi kebiasaan baru bagi masyarakat setempat.
Agar dapat beradaptasi dengan perkembangan jaman mau tidak mau, suka tidak suka kita harus mempersiapkan diri serta generasi muda secara khusus antara lain harus punya future skill, yaitu kemampuan untuk mencapai keberhasilan dalam kondisi yang kompleks dan serba cepat berubah.
Sudah tidak dapat lagi mengandalkan “kita punya hutan” namun kita harus by desain, semangat, kreatif , inovatif dan berkarater.
Meskipun saya awam terkait ilmu ekologi, ekonomi, atau bahkan ilmu geologi, namun saya rasa tidak salah saya berkicau dari sudut kota ini dengan bebicara realita yang ada dan nyata yang kami rasakan. Dengan masuknya berbagai kebudayaan yang menyapa masyarakat yang sebelumnya tertutup dari dunia luar, kini memang harus sudah saatnya dan sudah seharusnya kita mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, harus mampu beradaptasi dengan masyarakat luar bahkan masyarakat dunia.
Apakah kita hanya sebagai penonton yang hanya bisa bertepuk tangan atau kita sebagai pemain yang bergerak dan berperan untuk memikirkan dan menata masa depan! Sudah cukup masyarakat menjadi penonton dikala dimana kekayaan alam seperti kayu ditebang oleh pemegang ijin sekala besar, sudah cukup masyarakat melihat batang – batang kayu yang diangkut menggunakan alat berat raksasa dari wilayahnya dimana menjadi tempat hidup dan penghidupan yang mereka huni selama ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Apakah dengan masuknya perusahan – perusahaan memberikan dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat setempat! Mungkin ya bagi oknum tertentu dan tidak bagi kebayakan masyarakat.
Masuknya Perusahaan atau korporat disaat masyarakat desa belum siap akan membuahkan kekecewaan dikemudian! Ini lah yang dialami beberapa desa dimana beroperasinya PT Alas Kusuma. Sebelumnya beroperasi PT Alas Kusuma secara khusus di desa desa yang berada di jalur sungai Lekawai (anak suangai melai) kecamatan Serawai Kabupaten Sintang, sebut saja Desa Merako, Mentajoi, Nanga Riyoi, Nanga Ruhan dan Meroboi. Beberapa desa tersebut merupakan desa desa yang wilayah nya terdapat perijinan penebangan kayu PT Alas Kusuma dimana pusat Kantor Operasionalnya terdapat di Desa Merako Jaya.
Sesuai namanya saat PT Alas Kusuma ada di Desa Merako Jaya dan sekitar memang jaya dan demikian juga dengan desa – desa lainnya, jaya dalam hal ini adalah jalan penghubung antar desa masih terawat, beberapa oknum (setan desa) juga jaya karena memperoleh sokongan dari perusahaan, yang seharusnya CSR diperuntukan kepentingan masyarakat banyak namun karena perusahaan harus memberikan sokongan atau fee kepada bandit – bandit tadi sehingga CSR tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Padahal PT Alas Kusuma merupakan salah satu PT yang bergerak di bidang perkayuan yang sudah beroperasi sejak tahun 1974 di kecamatan Serawai Kabupaten Sintang secara kusus di desa Merako dan desa sekitar. Pada tahun 2007 PT Alas Kusuma merupakan PT yang terakreditasi terbaik versi LEI (lembagaa Peneliti dampak lingkungan perusahaan kayu).
Seandainya CSR diperuntukan dengan baik selama ±45 tahun PT Alas Beroperasi di desa Merako dan sekitar, maka desa desa tersebut juga akan memperoleh pembangunan yang baik pula, dari segi pembanguan manusia misalnya pendidikan seharusan selama ±45 tahun tersebut minimal puluhan sarjana yang telah lulus yang ditanggung perusahan, kemudian bidang kesehatan seharusan sudah terdapat bangunan fasilitas kesehatan yang layak, dalam hal ekonomi seharusan masyarakat atau desa sudah dalam status desa mandiri dan demikian juga hal nya akses/ jalan penghubung antar desa seharusnya minimal jalan sudah dilakukan sertu/pengerasan jika perusahan belum mampu memberikan Aspal.
Ini menunjukan bahwa masyarakat desa belum siap, baik dari pemerintahan desa maupun lembaga adat setempat. Mengapa belum siap! Hal ini terlihat sampai hari ini desa – desa belum memiliki perencanaan pembangunan yang melirik masa depan untuk keberlanjutan penghidupan di wilayah desa itu sendiri, seharus sejak ditetapakan sebagai desa saat itu juga harus memiliki perencanaan yang jelas, terutama dari tataruang desa yang diterjemahkan kedalam RPJM desa yang turunannya RKP Desa. Ini lah yang saya katakan “adanya perusahaan antara untung dan buntung” perusahaan apapun itu jika masyarakat desa belum siap.
Dengan kondisi desa belum siap maka banyak potensi dan kekayaan alam bahkan budaya /kearifan lokal yang tergerus bahkan hampir hilang. Jalan penghubung antar desa kini sudah sulit untuk dilalui, sehingga masyarakat yang mendiami jalur sungai Lekawai dimana PT Alas sebelumnya beroperasi kini kembali mengandalkan jalur sungai. Fakata fakta seperti inilah yang menjadi fobia bagi masyarakat akan kehadiran – kehadiran perusahaan di wilayahnya. Untungnya sedikit buntungnya banyak.
(*Kardi)