Membangun Model Penatalaksanaan HIV/AIDS: Terkini dan Komprehensif di Daerah

Penulis : Jaka Kembara

Aktivis Swandiri Inisiatif Sintang

Foto dari RQ Efendi

Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV, dan merupakan tahap akhir dari infeksi HIV (Fauci et al., 2009). 

Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Pada awal tahun 1982, sebelum menemukan agen penyebabnya, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mengembangkan definisi kasus AIDS dengan dasar diagnosis adanya ‘suatu penyakit yang cukup mengindikasikan adanya imunodefisiensi seluler pada seseorang tanpa penyebab yang diketahui’. Sebelumnya, sudah terdapat laporan kasus yang memenuhi definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983, yang awal diberi nama LAV (lymphadenopathy virus), dan pada tahun 1984 Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS, yang saat itu diberi nama HTLV-III. Pada tahun 1984, istilah AIDS related complex (ARC) diciptakan untuk menggambarkan gejala imunodefisiensi yang dikenali seiring dengan peningkatan frekuensi risiko seseorang untuk terkena AIDS. Gejala tersebut adalah limfadenopati generalisata yang tidak dapat dijelaskan, trombositopenia idiopatik, kandidiasis oral, infeksi herpes zoster, dan sindrom wasting konstitusional. Istilah ARC ini sekarang sudah tidak dipakai lagi. Tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV sendiri baru tersedia pada tahun 1985. 

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987, yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Pada tahun 1986–1987, CDC membuat sistem klasifikasi untuk mengakomodasi semakin banyaknya temuan klinis yang dikaitkan dengan infeksi kronik HIV, dan memperluas definisi AIDS untuk lebih efektif melacak morbiditas yang terkait dengan infeksi HIV, yang direvisi dan dikembangkan lebih lanjut pada 1993. Secara umum, AIDS sejak itu didefinisikan sebagai diagnosis laboratoris adanya infeksi HIV ditambah infeksi oportunistik atau jumlah CD4 di bawah 200/ μL (Levy, 1993; Djoerban et al., 2014). 

Situasi terkini Kabupaten Sintang

Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Maret 2016, HIV/AIDS tersebar di 407 (80%) dari 507 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Bali merupakan provinsi pertama sedangkan Sulawesi Barat adalah provinsi terakhir yang melaporkan kejadian infeksi tersebut. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan bulan Maret 2016 sebanyak 198.219 kasus. Di mana jumlah infeksi tertinggi terdapat di DKI Jakarta, diikuti berturut-turut Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2016 sebanyak 78.292 kasus dengan jumlah terbanyak terdapat di Jawa Timur. Kelompok umur tertinggi terjadinya kasus AIDS, yakni 20-29 tahun sebanyak 31,5%, dengan case rate bervariasi antara 0,95 di Sulawesi Barat sampai 416,91 di Papua, dengan jumlah kematian akibat AIDS sampai dengan tahun 2016 sebesar 13.449. Hal ini menunjukkan beban terkait penanggulangan HIV-AIDS yang berbeda pada masing- masing daerah (Kemenkes RI, 2016). Secara umum terdapat 3 pola epidemi terkait penyebaran HIV (Kemenkes RI, 2016).

Data dari Dinkes Kalbar tahun 1993 sampai dengan Desember 2018 tercatat penularan HIV di seluruh Kalbar sebanyak 7.114 kasus dan AIDS sebanyak 4.170 kasus, di antaranya 1.114 orang telah meninggal dunia, Dari jumlah kasus HIV tersebut diketahui sebagian besar dalam kategori usia produktif 20-49 tahun dengan persentanse sebanyak 80,52 persen. Sedangkan untuk kabupaten sintang berdasarkan data yang disampaikan oleh dinas kesehatan kabupaten sintang kasus HIV/AIDS dari tahun 2006 sampai 2022 berjumlah 672 orang dengan jumlah laki-laki 395 orang dan perempuan sebanyak 277 orang. 

(sumber data, Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang dalam paparan situasi dan kondisi AIDS Kabupaten Sintang, 2023)

Jika kita melihat dari data dan grafik yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang diatas, dari tahun 2019 sampai 2021 terjadi tren penurunan kasus yang semula 68 kasus di tahun 2019 menurun menjadi 53 kasus tahun 2020 kemudian menurun menjadi 50 kasus ditahun 2021 akan tetapi tidak dijelaskan dengan pasti bagaimana penurunan kasus tersebut dapat terjadi apakah karena memang pembatasan kegiatan yang dilakukan saat pandemi sehingga kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi untuk terjadinya infeksi dan penularan menjadi berkurang atau kegiatan deteksi untuk menemukan kasus baru yang menurun karena pembatasan pandemi covid.

Pada tahun 2022 terjadi lonjakan temuan kasus hampir dua kali lipat yang semula 50 kasus pada tahun 2021 menjadi 97 kasus di tahun 2022. Melonjaknya temuan kasus tersebut dalam asumsi dapat diindikasikan sebenarnya masih banyak kasus-kasus lain yang sebenarnya belum dapat terjangkau melalui kegiatan deteksi yang dilakukan oleh pihak otoritas terkait, seperti bagaimana menjangkau individu yang tidak mendapat pengetahuan dan informasi yang cukup bahwa kegiatan yang dilakukannya memiliki resiko tinggi untuk terjadinya penularan HIV/AIDS sehingga abai terhadap tindakan-tindakan pencegahan atau dapat juga individu yang sadar dengan tindakan yang dilakukan berisiko tinggi untuk terjadi infeksi dan penularan tetapi enggan untuk memeriksakan diri karena takut akan dampak stigma negatif yang akan timbul ditengah masyarakat kita yang multikultural ini.

Jika kita melihat dari data tersebut kita tentu berharap penuh bagaimana pemerintah kabupaten sintang melalui dinas Kesehatan kabupaten sintang sebagai leading sector penanganan Kesehatan dapat menjelaskan dengan baik bagaimana data-data tersebut diperoleh, Langkah penanganan kasus baru, dan rencana strategis penanganan HIV/AIDS yang mencakup bagaimana membangun system peringatan dini untuk menekan terjadinya infeksi HIV/AIDS, menjamin klien dengan HIV/AIDS dapat memperoleh hak-hak sebagai warga negara serta menekan stigma negatif yang akan timbul terhadap klien dengan HIV/AIDS ditengah masyarakat yang harus kita akui bersama akibat kurangnya pengetahuan dan informasi masyarakat terhadap HIV/AIDS akibat kurangnya kegiatan penyadartahuan.

Membangun Model Penatalaksanaan HIV/AIDS:  Terkini dan Komprehensif

Infeksi dan penyebaran HIV/AIDS merupakan masalah penting dan darurat untuk segera ditangani karena tidak hanya menjadi masalah pada sektor  kesehatan saja tetapi menjadi permasalahan multisectoral dan struktural  yang menimbulkan multi efek pada masyarakat kita yang multikultural, khususnya di Kabupaten Sintang. Perkembangan ilmu pengetahuan yang kian maju dan banyak riset yang dikembangkan untuk penatalaksanaan HIV/AIDS seharusnya menjadi modal terbaik yang dapat diadopsi untuk dapat membangun model penatalakasanaan HIV/AIDS di Kabupaten Sintang. Tujuan dibangunnya model penatalaksanan HIV/AIDS yang terkini dan komprehensif diharapkan dapat memperbaiki tatakelola penanganan HIV/AIDS beserta masalah-masalah yang menyertainya.

Aksi Kolaborasi dapat dilakukan sebagai Langkah awal kontribusi semua pihak dalam membangunan model penatalaksanaan HIV/AIDS terkini karena sudah seharusnya melalui pengembangan dan inovasi-inovasi yang ter-update. Bukan hanya dari disiplin ilmu Kesehatan saja, namun juga dari berbagai aspek disiplin ilmu lainnya, dengan harapan model penatalaksanaan HIV/AIDS yang dibangun benar-benar dapat menjawab semua tantangan, kesulitan dan permasalahan yang ada serta dapat diterapkan oleh semua disiplin ilmu. Karena itulah, pentingnya update berbagai disiplin ilmu dalam penanganan  HIV/AIDS yang komprehensif.

Model penatalaksanaan yang dibangun haruslah komprehensif yang dimaksudkan model penatalaksaan ini nanti dapat membentuk suatu jejaring tatalaksana yang terpadu di antara semua sumber daya yang ada untuk memberikan pelayanan dan perawatan holistik, menyeluruh, dan memberikan dukungan yang luas tidak hanya bagi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) akan tetapi mencakup keluarganya dan masyarakat luas. Banyak aspek yang tercakup dalam tatalaksana HIV/AIDS komprehensif, seperti VCT, asuhan keperawatan, asupan gizi, menurunkan stigma, dukungan private sector, dukungan sosial dan kebijakan pemerintah yang menjamin dan mendukung ODHA meningkatkan kualitas hidupnya. Karena itu, dalam membangun model penatalaksanaan HIV/AIDS komprehensif ini melibatkan peran berbagai pihak yang harus saling mendukung, Dalam hal ini bagaimana semua pihak harus dapat menurunkan ego, karena diperlukan kesetaraan, ketersediaan, dan koordinasi-integrasi yang harmonis dalam memadukan perkembangan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin agar manajemen tatalaksana komprehensif dalam penanganan kasus HIV/ AIDS ini bisa efektif dan efisien.

Dalam harapan kita dibangunnya model penatalaksanan HIV/AIDS yang terkini dan komprehensif agar semua pihak beserta seluruh lapisan masyarakat mendapatkan informasi yang cukup tentang HIV/AIDS sehingga dapat meningkatkan pengakses layanan KTS (Konseling dan Tes HIV Sukarela), melalui layanan KTS kita berharap pengakses layanan mendapatkan dukungan psikologi pra dan pasca tes, sebagai Langkah awal deteksi dini dan menentukan langkah selanjutnya dalam menentukan layanan yang akan diterima. KTS merupakan pintu masuk pada layanan HIV/AIDS berkelanjutan karena semakin dininya seseorang mengetahui status infeksinya maka jangkauan ke arah pengobatan juga semakin tinggi sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi opportunistic, menurunkan angka penularan infeksi HIV terutama dari ibu ke janin dan memberikan dukungan  secara moral maupun material akibat status HIV Klien.

Faktor utama yang membedakan HIV/AIDS dari penyakit kronis atau penyakit  kronis  lainnya adalah  stigma.  Anak dengan  HIV  dan keluarga mereka hidup dalam “konspirasi keheningan” dan rasa malu yang terkait dengan AIDS. Apa yang dialami anak dijaga sebagai rahasia. Salah satu konsekuensi dari rahasia yang disembunyikan ini adalah keluarga menjadi menarik diri, terisolasi secara sosial, dan terputus secara emosional dari dukungan lingkungan. Hal tersebut membatasi akses anak untuk mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya (Vranda, 2013).

Disclosure HIV pada anak membuat orang tua khawatir terhadap respons keluarga yang menyalahkan orang tua dan munculnya stigma baik dari keluarga maupun teman. Di dalam komunitas sosial, banyak orang tua yang lebih menyembunyikan diagnosis anak mereka dari keluarga, teman, dan masyarakat secara keseluruhan (Vranda, 2013).

Model penatalaksanan HIV/AIDS yang terkini dan komprehensif juga harus dapat menjawab bagaimana tatalaksana HIV/AIDS pada Klien Anak, terutama pada bayi dan anak dalam masa tumbuh kembang. klien anak dengan HIV mempunyai risiko kepercayaan diri yang rendah, masalah emosi dan perilaku dalam tumbuh kembangnya terutama jika tidak mendapatkan dukungan yang cukup dalam pertumbuhannya. Tidak dapat di pungkiri kabupaten sintang sendiri juga terdapat klien anak dengan HIV, untuk itu dukungan yang cukup dalam masa tumbuh kembang anak memerlukan dukungan semua pihak agar dapat menjawab permasalahan nutrisi, psikososial, mendapatkan hak dalam masa tumbuh kembang dan memperoleh akses Pendidikan yang layak. Kualitas hidup klien anak dengan HIV penting untuk diidentifikasi dan dipastikan memperoleh seluruh hak sebagai anak dalam  menjalani kehidupan, di banyak kasus walaupun klien anak dengan HIV bertahan hidup, tetapi anak tersebut mungkin menjalani hidup tidak dengan baik akibat dari besarnya stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat kita. 

(sumber data, Dinas Kesehatan Kabupaten Sintang dalam paparan situasi dan kondisi AIDS Kabupaten Sintang, 2023)

Melihat dari permasalahan dan harapan diatas, pada akhirnya kita menuntut kepada siapapun agar dapat menginisiasi terbangunnya model penatalaksanaan HIV/AIDS terkini dan komprehensif dengan mengahadirkan sekelompok orang yang mewakili seluruh sumber daya yang ada untuk dapat duduk bersama-sama mendiskusikan tantangan, pengalaman dan peran yang akan diambil dalam jejaring kerja tatalaksana yang akan dibangun tanpa khawatir dirinya akan distigmatisasi.pada mereka nantinya kita pun berharap sekelompok orang ini nantinya akan menjadi embrio kelompok dukungan yang akan secara tidak langsung membentuk lingkungan komunitas yang supportif dimana seluruh elemen yang ada dapat berjuang bersama, berbagi masalah dan kekhawatiran, membentuk pertemanan dan solutif sehingga dapat berdampingan hidup secara baik dengan ODHA dengan menekan seluruh stigma negative yang ada dimasyarakat.