
Fenomena Frustasi Sosial Akibat Modernisasi
Baru-baru ini, seorang remaja putri desa di Kabupaten Pemalang tew*as gant*ng diri dengan alasan karena tidak dibelikan skincare sama ibunya. Sebelumnya, si anak mengancam ibunya dengan pisau dapur. Ia memaksa ibunya itu untuk membelikannya skincare.
Tahun 2023 seorang anak SD di Pekalongan juga tew*s gant*ng diri.
Penyebabnya karena orang tuanya melarangnya bermain HP. Pertengahan tahun 2024 yang lalu, seorang Polwan di Mojokerto memborgol dan membakar suaminya yang juga seorang anggota polisi. Suaminya tew*s dengan borgol masih melekat ditangannya. Penyebanya, sang istri marah karena suaminya menghabiskan uang belanja untuk judi online.
Peristiwa-peristiwa itu tak hanya tragis, tapi juga teramat memilukan. Dan peristiwa seperti itu semakin jamak terjadi di negeri ini.
Dalam konteks perilaku sosial, peristiwa-peristiwa itu adalah bentuk dari frustrasi sosial. Frustrasi, berasal dari bahasa Latin frustratio, yaitu perasaan kecewa akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Sementara frustr*si sosial adalah tindakan agressif yang dilakukan oleh masyarakat karena frustrasi.
Saya menduga, peristiwa-peristiwa memilukan itu adalah dampak dari revolusi teknologi informasi. Kemajuan teknologi telah membuat berbagai informasi dan hingga ke sudut-sudut desa. Teknologi informasi juga telah merubah perilaku masyarakat.
Kasus skincare di Pemalang adalah sebuah contoh tentang bagaimana seorang remaja putri di desa tiba-tiba berambisi untuk mengglowingkan wajahnya seperti artis-artis korea. Ia ingin memiliki wajah seperti artis-artis yang berjarak puluhan ribu kilometer dari desanya itu. Ambisi itu muncul karena informasi yang ia dapat dari hp nya. Padahal ia tak pernah kemana-mana.
Sayangnya harga skincare itu sangat mahal sehingga tak terjangkau oleh pendapatan orang tuanya yang hidup pas-pasa an di desa. Sang remaja tetap menekan, tapi kantong sang ibu tak bisa ditekan lagi. Dalam pikiran Sang Ibu, kebutuhan makan jauh lebih penting daripada memenuhi hasrat untuk mengglowingkan kulit muka.
Tapi karena diprovokasi dengan informasi dari hp nya, di bawah sadar, sang anak menganggap skincare sangat urgen bagi dirinya. Lebih penting dari nasi. Maka, saat ditolak oleh sang Ibu, sang anak marah sambil membawa pisau dapur.
Sang Ibu mengaggap peristiwa itu sepele, dan ia mungkin berpikir tak mungkinlah hanya gara-gara skincare, anaknya sakit atau minggat dari rumah. “Apalah skincare, ia bukan beras atau nasi yang jika tak dipenuhi manusia bisa mati”, mungkin begitu cara berpikirnya.
Namun, tiba-tiba ia menemukan anaknya telah m*ati. Bukan karena tak makan nasi, melainkan karena frustr*si. Tragis. Peristiwa anak SD yang tew*as gant*ng diri di Pekalongan, penyebabnya kurang lebih sama.
Revolusi teknologi informasi telah memicu perubahan perilaku orang-orang hingga di pelosok desa. Orang desa yang semula bisa gembira karena main layangan bersama anak lainnya, menjadi penyendiri dengan hape di tangannya. Ia bisa memilih ribuan permainan alternatif dengan hanya menggeser-geser jempolnya. Ia juga bisa selalu punya teman bermain dari berbagai tempat selama 24 jam lamanya, tanpa perlu beranjak dari kasurnya di kamar tidurnya.
Baca Juga Ai, Pisau Dengan Dua Bilah
Begitu ia dilarang bermain hp oleh orang tuanya, ia merasa orang tuanya telah merampas kehidupannya, dan memisahkan dirinya dengan teman-teman setianya. Ia menganggap teman-temannya di Hp itu nyata dengan kesetiaan yang nyata pula. Padahal mereka yang ntah di mana itu, tak pernah peduli selain dengan apa yang ia lihat di hp nya saja.
Peristiwa Polwan di Mojokerto, kemungkinan sama juga. Dengan Hp, seseorang bisa melakukan berbagai tindakan tanpa diketahui oleh orang lain, termasuk berjudi. Sehingga iapun melakukannya, walau ia tahu persis tindakan itu adalah tindakan melawan hukum.
Memang betul nama baiknya aman, tapi kehidupan keluarganya yang terancam, sebab kecanduannya bermain judol telah menguras uang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum anak-anaknya.
Peristiwa tragis semacam ini sudah teramat banyak terjadi di negeri ini, tapi tampaknya para pemimpin negeri belum menyikapinya dengan serius. Mungkin lagi pada sibuk dengan hapenya juga. Mereka menganggap Hp nya Itulah yang nyata. Sementara, para anak bangsa hanyalah fatamorgana
Penulis : Beni S, ptk, 11.2.25