Politik Hijau : Sebuah Siasat Menuju Keadilan Lingkungan

Oleh : Mas Ageng

Aktivis Aktif di Grid & Swandiri Inisiatif Sintang

Misteri alam semesta

Alam semesta mempunyai beragam misteri, baik dalam penciptaan dan perkembangan. Alam semesta meliputi segala kuantitas, dari partikel terkecil di bawah atom hingga sekumpulan galaksi yang tidak terlukiskan. Pada awalnya, alam semesta terdiri dari sebuah bola api panas terbentuk dari gas yang mendingin dan meluas. Setelah sekitar sejuta tahun, gas tersebut memadat menjadi gumpalan terlokalisir yang disebut protogalaksi.

 

Menurut para ilmuwan, alam semesta mulai dari titik yang tidak tampak yang sangat kecil, sangat panas, sangat berat, dan padat dengan kemampatan yang tinggi dengan tekanan energi di dalamnya. Kemudian titik yang tidak tampak itu meledak dengan sangat dahsyat. Alam semesta meliputi segala objek yang ada di ruang angkasa, mulai dari partikel sub atom terkecil sampai super galaksi. Para ahli astronomi memperkirakan alam semesta memiliki sekitar milyaran galaksi dan setiap galaksi terdiri dari sekitar miliaran bintang.

 

Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa alam semesta mengalami perluasan atau mengembang, dan inilah kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini. Hingga awal abad ke 20, satu-satunya pandangan yang umum diyakini di dunia ilmu pengetahuan ialah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan.

 

Kebijakan Hijau kemana arahnya?

Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, salah satu cita-cita yang berusaha diwujudkan di bidang hukum adalah simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk memotong berbagai birokrasi ruwet yang rentan dengan berbagai tindakan koruptif. Menelisik dari asal-usul bahasanya, ‘Omnibus’ merupakan kata yang digunakan dalam Bahasa Perancis untuk kendaraan jenis bus yang digunakan untuk mengangkut penumpang dalam jumlah banyak. Secara harfiah, makna dari omnibus di dalam mekanisme pembentukan UU berarti adalah mengangkut beberapa peraturan untuk kemudian disatukan dalam satu UU. Hal ini lah yang juga melatarbelakangi kenapa kemudian di Indonesia UU ini disebut sebagai undang-undang sapu jagat.

 

Pada praktiknya di lapangan proses pembentukan UU Cipta Kerja menghadapi banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat mulai dari akademisi hingga buruh. UU yang digadang-gadang oleh Pemerintah sebagai regulasi yang sederhana dan dapat membuka keran investasi sebagai penopang perekonomian Indonesia ini ditolak oleh kalangan-kalangan yang terdampak langsung oleh peraturan ini, seperti buruh dan petani. Padahal sejatinya pembentuk UU ini memiliki tujuan yang positif seperti penciptaan lapangan kerja, kemudahan perizinan usaha, dan percepatan investasi.

 

UU Cipta Kerja ini memberi dampak sangat luas hingga ke berbagai sektor seperti riset dan inovasi, pertanahan, administrasi pemerintahan dan tak terkecuali sektor kehutanan. Dampak yang luas ini tentu menjadi pertanyaan tentang bagaimana UU ini dapat mendegradasi nilai-nilai dan jiwa dari norma-norma yang sebelumnya terdapat dalam UU yang mengatur bidang yang terkait.

Ancaman serius Hutan Indonesia

Sektor lingkungan khususnya kehutanan memang tidak lepas dari imbas atas rencana pengesahan UU Cilaka, hal ini lantaran pengaturan mengenai penyederhanaan perizinan usaha serta pengadaan lahan menyinggung banyak regulasi bidang kehutanan dan lingkungan. Perubahan mendasar yang terjadi adalah diubahnya beberapa intisari peraturan pokok sektor kehutanan yang terdapat dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan serta UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut merupakan beberapa poin penting perubahan yang ada ketika UU Cilaka ini disahkan.

 

Perubahan signifikan dalam UU Cilaka ini adalah mengenai mekanisme perizinan pemanfaatan kawasan hutan yang hanya diberlakukan pada pemanfaatan hutan kayu, sedangkan untuk pemanfaatan bukan kayu serta jasa lingkungan hanya berupa formalitas untuk memenuhi standar umum. Di Dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, seluruh jenis perizinan pemanfaatan kawasan hutan tercantum secara lengkap dimana terdiri dari 8 poin jenis perizinan terbagi menurut fungsi dan peruntukan hutan. Sedangkan, di dalam UU Cilaka, mekanisme perizinan disederhanakan menjadi hanya ada satu jenis yaitu berupa perizinan berusaha. Imbas dengan adanya UU ini adalah pencabutan pasal 27-29 pada UU No. 41/1999, sehingga intervensi terhadap kawasan hutan melalui skema perizinan berusaha ini akan semakin masif dan efek dominonya akan semakin mempermudah pihak mana saja terutama yang bermodal dan berkuasa untuk mengajukan perizinan berusaha di kawasan hutan. Kemudahan pemberian perizinan tanpa pertimbangan aspek ekologis sangat riskan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan kedepannya.

 

Perubahan poin mendasar pada UU No. 32 tahun 2009 terdapat diantaranya dicabutnya terminologi “izin lingkungan” berdampak pada berubahnya posisi AMDAL dalam proses perizinan berusaha dimana AMDAL bukan lagi sebagai hal yang wajib untuk memutuskan kelayakan izin usaha akan tetapi hanya menjadi pertimbangan saja. Ironisnya lagi, wajib AMDAL hanya diberlakukan pada kriteria usaha yang proses dan kegiatannya berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya. BOOOM! Konsekuensinya, semakin maraknya izin pendirian usaha yang tidak perlu melakukan wajib AMDAL menimbulkan dampak lingkungan yang semakin tak terkendali. Dari hal ini pemerintah terlihat sama sekali tidak mengindahkan pertimbangan lingkungan dalam kegiatan pembangunan.

 

Politik Hijau Langkah Taktis mencegah Krisis

lingkungan alami telah banyak mengalami kehancuran dan terdegradasi. Sehingga sangat perlu untuk diperhatikan kelestariannya demi kelangsungan hidup manusia. Menyikapi fenomena ini, green politics theory (politik hijau) menjadi salah satu solusi konkret dan menarik untuk dijadikan sebagai instrumen dalam mengkaji, merencanakan program lingkungan, mewujudkan kelestarian lingkungan, serta proteksi wilayah kehidupan atas pencaplokan tanah.

 

Produk politik yang menciptakan regulasi berbasis politik hijau, tentunya akan mengarahkan kita kepada upaya penyelamatan, perbaikan lingkungan, perlindungan, sekaligus optimalisasi pemberdayaan lingkungan berbasis pembangunan berkelanjutan yang eco-friendly. Dalam politik hijau, lingkungan menjadi sumber daya yang menyediakan bahan untuk memenuhi kebutuhan. Sumber daya tersebut setidaknya dibagi dalam tiga sektor, yaitu sumber daya alam, sumber daya ekonomi, dan sumber daya politik.

 

Sebagai sumber daya alam, lingkungan menyediakan bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia dan atau menjamin kelangsungan hidupnya. Sebagai sumber daya ekonomi, lingkungan dapat menjadi penggerak perekonomian, baik sebagai penyedia bahan baku atau komoditas ekonomi maupun sebagai penyedia tempat melangsungkan kegiatan ekonomi.

Sedangkan sebagai sumber daya politik, lingkungan dapat mempengaruhi dan berperan dalam proses-proses politik, seperti proses pergantian kekuasaan, proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, serta proses pengawasan terhadap keputusan yang telah dibuat. Dalam konteks keIndonesiaan, politik hijau dapat dikaji dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Namun sebelum melihat contoh kebijakan yang dilakukan pemerintah, perlu memperhatikan tugas pokok fungsi pemerintah terlebih dahulu. Setidaknya ada empat fungsi pemerintah Indonesia yang dapat dilihat menggunakan kacamata politik hijau ini.

 

Pertama, fungsi regulatif yaitu untuk mengatur tata cara pengelolaan sumber daya alam, termasuk prasyarat ketika melakukan eksploitasi sumber daya alam. Kedua, fungsi alokasi. Fungsi ini menempatkan berbagai jenis manfaat material dan nonmaterial untuk kepentingan kelestarian lingkungan. Ketiga, fungsi distribusi. Disini pemerintah memberikan berbagai bantuan yang bersifat material dan nonmaterial untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan memenuhi kebutuhan rakyat. Terakhir, fungsi ekstraktif, yaitu keputusan politik yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memonopoli penyerapan sumber daya alam untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, ingat untuk rakyat jelata tidak untuk pemodal semata. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya bila politik hijau mampu hadir sebagai mekanisme kritik terhadap skema industri hulu ke hilir, sehingga pembangunan yang akan terjadi akan berbasis dan berwawasan kepada aspek lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang tidak menghancurkan.

Penulis : Mas Ageng