NOBAR dan Diskusi Film Atas Nama Daun, Sarana Forstar Tukar Pikiran Tentang Tanaman Ganja
Forstar menginisiasi kegiatan nobar dan diskusi atas nama daun karena dirasa bahwa sebenarnya ganja sendiri merupakan topik sensitif untuk dibahas dan merasa bahwa selain dari sisi negatif kita juga harus melihat juga dari perspektif lainnya agar bisa menjadi refleksi untuk kita semua nobar dan diskusi ini juga melibatkan Iptu Dedi Supriadi S.H kasat Resnarkoba polres Sintang, Dr. Ari Satriyo yang bertugas di BNN kabupaten Sintang, Yuliana dari Gerakan Indonesia Anti Narkoba (GIAN) dan Aldo Topan Rivaldi pegiat Forstar. Nobar dan diskusi ini juga diikuti oleh para mahasiswa, Organisasi Masyarakat dan Jurnalis. Film dokumenter atas nama daun sendiri diproduksi oleh Anatman Pictures yang berdurasi 1 jam 4 menit dibagi dalam lima bab atas nama riset, atas nama daun atas nama hukum, atas nama cinta dan atas nama hak. Film ini menyuguhkan cerita tentang daun ganja dari berbagai perspektif narasumber yang berbeda beda dan mengisahkan tentang interaksi mereka dengan ganja itu sendiri.
Setelah mengadakan nobar kemudian dilanjutkan dengan diskusi terbuka tentang perspektif narasumber terhadap ganja itu sendiri. Iptu Dedi Supriadi S.H kasat Resnarkoba polres Sintang menyampaikan bahwa sebenarnya dari sisi hukum kita (Polisi) adalah pelaksana dari penegakkan hukum dengan menjalankan prosedur hukum yang telah ditetapkan oleh peraturan dan perundang-undangan yang telah dibuatkan dan ditetapkan oleh wakil rakyat dan pemerintah. Selama tidak ada perubahan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam regulasi ganja sendiri kita akan tetap menjalankan proses hukum yang ada, karena disini kita hanya menjalankan dan menegakan peraturan dan undang-undang yang ada. Sementara itu Dr. Ari Satriyo yang bertugas di BNN kabupaten Sintang menyampaikan dari perspektif medis bahwa banyak alternatif lain dalam penanganan penyakit dan tidak harus bergantung pada penggunaan ganja karena setiap tahunnya banyak jurnal-jurnal yang diterbitkan oleh tim medis dari berbagai sumber serta SOP penanganan penyakit yang ada contoh untuk penanganan penyakit Cerebral Palsy tidak tidak harus menggunakan ganja ada obat lain seperti clonazepam untuk penenang penderita cerebral palsy. Aldo Topan Rivaldi pegiat Forstar juga menyampaikan dari perspektif HAM bahwa setiap warga negara punya hak untuk hidup, sehat, kaya, miskin sementara dari film yang baru saja disaksikan hanya karena tidak mendapatkan hak dan akses untuk penggunaan ganja untuk kesehatan harus ada yang kehilangan nyawa nya, saya juga mendukung legalisasi ganja jika diperuntukan untuk kebutuhan medis dan riset ilmu pengetahuan tetapi tidak untuk kebutuhan rekreasi karena masih banyak alternatif lain yang bisa digunakan untuk berekreasi, kita membutuhkan regulasi yang tepat terhadap pemanfaatan tanaman ganja ini, kita tidak boleh menutup sebelah mana melihat manfaat baik dari ganja. Yuliana dari gerakan Indonesia Anti narkoba (GIAN) menjelaskan bahwa sebenarnya manusia sendiri sudah memiliki hormon dopamin di dalam tubuh kita masing-masing yang bisa memicu efek kebahagiaan tanpa harus menggunakan obat-obat terlarang.
Dalam sesi diskusi, “Kratom” salah satu tanaman khas yang ada di Kalimantan Barat juga disoroti, mengingat efek dari konsumsi kratom yang dirasa cukup merelaksasi dan dikhawatirkan memiliki kandungan narkotika di dalamnya sehingga sebagian peserta penasaran terhadap status hukum komoditi ini. Menanggapi hal ini IPTU Dedy menyampaikan bahwa selama kratom tidak dikategorikan sebagai narkotika golongan apapun maka kepolisian juga tidak dapat melakukan penangkapan terhadap pekebun maupun yang mengkonsumsi kratom ini. Memang kratom sendiri masih menjadi perdebatan di level nasional terkait legalitasnya.
Di akhir diskusi didapatkan kesimpulan bahwa perlu adanya Kebijakan dan pengawasan yang bisa mengatur penggunaan ganja yang sedemikian rupa agar mereka yang punya kebutuhan terhadap ganja terutama untuk keperluan medis, sehingga tidak ada lagi kasus seperti Fidelis yang harus mendekam di dalam penjara dan kehilangan istrinya secara bersamaan hanya karena tidak mendapatkan akses dalam penggunaan ganja untuk keperluan pengobatan sang istri.