Atas Nama Damai

Melihat indonesia dari kacamata keberagaman tidak bisa dielakan lagi bahwa bangsa ini sangat majemuk. Dari kemajemukan tersebut mulai dari suku, ras, etnis, budaya dan sosial masyarakat sangat beragam. Keragaman bangsa Indonesia ini yang menarik dan menimbulkan satu pertanyaan mengapa dari keragaman dan kemajemukan tersebut mereka mampu hidup dalam bingkai bhineka?

Falsafah ke-Indonesiaan yang di simbolkan oleh burung garuda, populer kita menyebutnya dengan pancasila. Suatu rumusan besar oleh pendiri bangsa. Ketika sang elang garuda mencengkram satu kalimat yang kira-kira bunyinya begini Bhineka Tunggal Ika. Sangat dalam bukan, suatu kalimat dengan susunan sederhana tapi menyimpan segala nilai kerukunan, ketentraman, dan kedamaian. Timbul kembali pertanyaan. Sudahkah setiap kita megamalkan nilai pancasila ini dan menghadirkan kesejukan di lingkungan kita?

Dalam perjalanannya bhineka masih dimaknai sepenggal arti dan kadang kadang dijadikan tameng mayoritas. Label perbedaan yang disematkan oleh kelompok minoritas tertentu jadi ajang penghakiman oleh kelompok tertentu. Masih ingat kasus ahok? Aku tidak akan membahas itu melainkan ini menjadi evaluasi kritis kita sebagai bangsa bahwa pendekatan kemanusiaan itulah yang dibutuhkan.

Persoalan yang terus terjadi dibelahan bumi ini memiliki hal yang sangat tersembunyi. Apa ada jaminan bahwa kita yang sudah bersembunyi bisa aman? Melakukan suatu kebaikan dengan cara menyampaikan kebenaran adalah salah satu dari sekian kita untuk menghadirkan perdamaian dalam bentuk peringatan. Setiap kita bertanggung jawab atas persoalan kita di sekitar, menjadikan perlawanan dengan basis keilmuan adalah upaya awal untuk melawan orang orang yang menolak damai atau sengaja membuat perselisihan.

Memperkuat Ikatan dalam perbedaan

Sudah sepapatutnya setiap kita bersyukur dengan apa yang telah kita miliki sekarang. Kita dilahirkan oleh ragam orang tua yang memiliki keunikan tradisi. Bukti perbedaan ini bukanlah suatu persoalan yang untuk kita soalkan. Pernah berpikir, ada nilai apa dibalik tradisi yang kita punya?

Kita sering diceritakan dongeng bahwa ada hutan keramat yang tak boleh dikunjungi. Bahkan tempat itu ditinggali oleh makhluk yang kasat mata. Dongeng ini terus diulang dan kita penasaran hingga sekarang. Setelah besar akhirnya kita tahu bahwa bagaimana tidak ada cara untuk melindungi hutan dengan kearifan lokal agar orang tidak semena-mena mengancurkan ekosistem hutan tersebut.

Pelajaran lampau yang tidak mudah untuk membangun kepercayaan apabila lingkungan terus di libas maka suatu saat kita akan dapat imbas. Bahwa orang dulu sudah memikirkan agar bagaimana lingkungan ini bisa terus dinikmati oleh anak cucunya. Aku ingat betul kata mahatma Gandhi kira kira begini “bumi ini cukup untuk 7 generasi, namun tidak cukup untuk tujuh orang serakah”

Menebar cinta di segala penjuru

Menengok kembali sejarah bagaimana bangsa ini merdeka, aku tidak mau lama lama mengingatnya. Sudah cukup banyak manusia yang jatuh bergelipangan entah karena kepentingan siapa. Apakah kita bisa membangun bangsa ini tanpa peperangan? Ooo bisa banget! Melalui dari hal yang paling sederhana membangun percakapan sekitar dengan penuh kepercayaan.

Dari segala sudut pintu rumah dalam rangka membangun peradaban kita bisa memulainya. Pembangunan masyarakat dilaksanakan dengan percakapan ilmu yang arahnya adalah kesejahteraan. Pastinya adalah kesejahteraan dan keberlanjutan secara luas yang berdampak secara regenerasi. Peradaban sederhana memang dibangun dengan penuh kerendahan hati artinya setiap dari kita mampu menerima apapun yang berbeda dari kita.

Realitanya apa benar kita sudah ada di wacana dialog demikian? Kerap kali kehangatan percakapan ilmu ini dibelah dengan arogansi manusia yang seolah mampu menguasai segala sesuatu. Cara-cara apapun tetap akan ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut, bahkan konflik sengaja diciptakan untuk membelah keadaan. Betul kerukunan yang sudah kita bangun terancam atas ulah orang yang tidak paham soal kesederhanaan.

Memperkuat keadaan sekitar dengan menebar cinta perlu terus diulang. Memang melelahkan bila hal ini terus kita tularkan niscaya kekuatan ini akan terus berhubungan.

 

Penulis : Mas Ageng